BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan sekarang dikenal sebagai kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan gagal ginjal kronis .
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yang luas yakni kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagl ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Pada kedua kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Meskipun ketidakmampuan fungsional terminal sama pada kedua jenis gagal ginjal ini, tetapi gagal ginjal akut mempunyai gambaran khas dan akan dibahas secara terpisah.
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Pada awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis yang lain terutama menyerang tubuls ginjal (pielonefritis atau penyakit polikistik ginajl) atau dapat juga mengganggu perfusi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Namun, bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan jaringan parut.
Meskipun penyebabnya banyak, manifestasi klinis gagal ginjal kronik sangat mirip satu sama lain karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak pasti tidak adapat dielakkan lagi.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan gagal ginjal kronik?
2. Bagaimana etiologi gagal ginjal kronik?
3. Bagaimana perjalanan klinisnya ?
4. Apa tanda dan gejalanya?
5. Bagaimana pendekatan diagnostiknya?
6. Apa komplikasi gagal ginjal kronik?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi dari gagal ginjal kronik.
2. Mengatahui epidemiologi, etiopatogenesis, dan klasifikasi gagal ginjal kronik.
3. Mengetahui gambaran klinik dan patofisiologi serta pemeriksaan fisik dan penunjang yang dianggap perlu.
4. Mengetahui diagnosis dan terapi untuk gagal ginjal kronik.
5. Mengetahui komplikasi dan prognosis dar gagal ginjal kronik.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal). (Nursalam, 2006)
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50 mL/menit. (Suhardjono, dkk, 2001)
Insufisiensi ginjal kronik atau kegagalan dimulai ketika ginjal tidak bisa memelihara kimia normal cairan tubuh dibawah kondisi normal. Kemunduran secara progresif lebih dari periode bulan atau tahun menimbulkan keanekaragaman klinis dan gangguan biokimia yang akhirnya mencapai puncak dari sindrom klinis disebut uremia. (Whaley & Wong, 2002)
Gagal ginjal kronis aatu penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2000)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubulus mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia.
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea dalam darah
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Penyakit gagal ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit ( SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1448)
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh dibawah kondisi normal(Betz Sowden,2002 )
Gagal Ginjal Kronik adalah kerusakan yang progresif pada nefron yang mengarah pada timbulnya uremia yang secara perlahan-lahan meningkat ( Rosa M. Sacharin, 1996).
Gagal ginjal kronik adalah akibat kerusakan permanen nefron oleh semua penyakit ginjal berat. (John Gibson, 2003)
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persistren dan irreversibel. (Mansjoer, 2000)
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung perlahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksin uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak & Gallo, 1996).
Long (1996 : 368) mengemukakan bahwa gagal ginjal kronik adalah ginjal sudah tidak mampu lagi mempertahankan lingkugan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi sudah tidak ada.
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang menahun yang umumnya tidak riversibel dan cukup lanjut. (Suparman, 1990: 349).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung dalam beberapa tahun (Lorraine M Wilson, 1995: 812).
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF), berdasarkan :
• Kelainan patologik atau
• Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
2. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah adanya kerusakan fungsi ginjal secara progresif sehingga tubuh akan mengalami gangguan karena ginjal tidak mampu mempertahnkan substansi tubuh dalam keadaan nomal.
2.2 Etiologi
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas seperti yang tercantum pada tabel dibawah.
Tabel Klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik atau refluks netropati
Penyakit Peradangan Glomerulonefritis
Penyakit Vaskuler hipertensif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, dan Stenosis Arteria renalis.
Gangguan Jaringan Ikat Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis nodosa, Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polisikistik dan Asidosis tubulus ginjal.
Penyakit metabolik Diaetes mellitus, Gout, Hiperparatiroidisme, amiloidosis
Netropati toksik Penyalahgunaan analgesik dan Netropati timah.
Netropati obstruktif Traktus urinarius bagian bawah, hipertrofi prostat, stiktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.
2.3 Manifestasi Klinik
1. Manifestasi klinik menurut (Long, 1996 : 369) :
• Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
• Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi)
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
• Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital friction rub pericardial, pembesaran vena leher
• Integumen : Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
• Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, pernafasan kussmaul
• Gastrointestinal : Nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan saluran cerna
• Neurologi : Kelemahan dan keletihan, konfusi/ perubahan tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
• Muskuloskeletal : Kram otot, kekuatan otot hilang,kelemahan pada tungkai Fraktur tulang, Foot drop
• Reproduktif : Amenore, Atrofi testekuler
Tanda dan gejala yang sering dijumpai pada gagal ginjal kronis, sebagai berikut :
Kardiovaskuler :
• Hipertensi
• Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
• Edema periorbital
• Friction rub perikardial
• Pembesaran vena leher Gastrointestinal :
• Napas berbau amonia
• Ulserasi dan perdarahan pada mulut
• Anoreksia, mual dan muntah
• Konstipasi dan diare
• Perdarahan pada saluran GI
Integumen :
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Kulit kering, bersisik
• Pruritus
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan rapuh Neurologi :
• Kelemahan dan keletihan
• Konfusi
• Disorientasi
• Kejang
• Kelemahan pada tungkai
• Rasa panas pada telapak kaki
• Perubahan perilaku
Pulmoner :
• Krekels
• Sputum kental dan liat
• Napas dangkal
• Pernapasan kussmaul Muskuloskeletal :
• Kram otot
• Kekuatan otot hilang
• Fraktur tulang
• Foot drop
Reproduktif :
• Amenore
• Atrofi testikuler
• Penurunan libido
• Impotensi
• Infertilitas Tulang dan sendi :
• Hiperparatiroidisme
• Defisiensi vitamin D
• Gout
• Pseudogout
• Kalsiifikasi ekstra tulang.
Penjelasan gejala-gejala klinik yang lain dari gagal ginjal kronis :
• Hipertensi. Hipertensi sering ditemukan dan dapat diakibatkan oleh meningkatnya produksi renin dan angiotensin, atau akibat kelebihan volume yang disebabkan olleh retensi garam dan air. Keadaan ini dapat mencetuskan gagal jantung dan mempercepat kemerosotan GFR bila tidak dikendalikan dengan baik.
• Kelainan kardiopulmoner. Gagal jantung kongestif dan edema paru-paru terjadi akibat kelebihan kelebihan volume. Aritma jantung dapat terjadi akibat hiperkalemia. Perikarditis uremia mungkin terjadi pada penderita uremia dan juga dapat muncul pada pasien yang sudah mendapat dialisis.
• Kelainan hematologi. Selainn anemia, pasien dengan gagal ginjal memiliki waktu perdarahan yang lebih lama dan kecenderungan untuk berdarah, meskipun waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan hitung trombosit normal. Mukosa gastrointestinal adalah tempat yang paling lazim untuk perdarahan uremia.
• Efek gastrointestinal. Anoreksia, mual, dan muntah-muntah terjadi pada uremia. Perdarahan gastrointestinal sering ditemukan dan dapat diakibatkan oleh bgastritis erosif dan angiodisplasia. Kadar amilase serum dapat meningkat sampai tiga kali kadar normal karena menurunnya bersihan ginjal.
• Osteodistrofi ginjal. Hiperparatiroidisme menyebabkan osteitis fibrosa kistika dengan pola radiologik yang klasik berupa resorpsi tulang subperiostial (yang paling mudah dilihat pada falangs distal dan falangs pertengahan jari kedua dan ketiga), osteomalasia, dan kadang-kadang osteoporosis.
• Efek neuromuskular. Neuropati uremia terutama melibatkan tungkai bawah dapat menyebabkan gejala “restless leg”, mati rasa, kejang, dan foot drop bila berat. Penurunan status jiwa, hiperrefleksia, klonus, asteriksis, koma, dan kejang mungkin terjadi pada uremia yang telah parah.
• Efek imunologis. Pasien dengan gagal ginjal dapat sering mengalami infeksi bakterial yang berat karena menurunnya fungsi limfosit dan granulosit akibat beredarnya toksin uremia yang tidak dikenal.
• Efek dermatologis. Pruritus sering ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
• Obat. Banyak obat nefrotoksik dapat memperburuk fungsi ginjal dan harus dihindari (NSAID, aminoglikosida). Dosis obat-obat mungkin terpaksa diatur pada pasien dengan gagal ginjal.
Uremia berkepanjangan merupakan hasil akhir semua penyakit ginjal. Adapun manifestasi sisemik utama pada gagal ginjal kronik dan uremia sebagai berikut :
Cairan dan Elektrolit :
• Dehidrasi
• Edema
• Hiperkalemia
• Asidosis metabolik Kalsium Fosfat dan Tulang :
• Hiperfosfatemia
• Hipokalsemi
• Hiperparatiroidisme sekunder
• Osteodistrofi renal
Kardiopulmonal :
• Hipertensi
• Gagal Jantung kongestiv
• Edema Paru
• Perikarditis uremik Gastrointestinal :
• Nausea dan vomitus
• Perdarahan
• Esofagitis, gastritis, kolitis
Neuromuskuler :
• Miopati
• Neuropati perifer
• Ensefalopati Dermatologik :
• Warna pucat
• Pruritis
• Dermatitis
• Hematologik :
• Anemia
• Diatesis perdarahan
2.4 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler.
2. Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi hipertensi.
4. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui.
5. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat.
Sesuai dengan test kreatinin klirens, maka GGK dapat di klasifikasikan menjadi 4, dengan pembagian sebagai berikut :
1. 100-76 ml/mnt, disebut insufisiensi ginjal berkurang.
2. 75-26 ml/mnt, disebut insufisiensi ginjal kronik.
3. 25-5 ml/mnt, disebut gagal ginjal kronik.
4. < 5 ml/mnt, disebut gagal ginjal terminal.
2.5 Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorium :
Sementara massa nefron dan fungsi ginjal berkurang, ginjal menjadi tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan sekresi hormon.
• Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien (1-2%) menderita nefropati “membuang garam” (salt wasting nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun diet natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
• Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat mengakibatkan hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan kenaikan BUN dan kreatinin serum; sementara asupan air yang terlalu banyak menyebabkan hiponatremia.
• Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai 10 mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah, sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin) dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV.
• Keseimbangan Asam-Basa
Asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit tubulointestinal yang kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen.
Asidosis dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.
• Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium. Hipokalsemia terjadi akibat menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorpsi kalsium oleh sistem gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi juga menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa). Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan gejala neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan pernapasan).
• Anemia. Anemia terutama terjadi akibat menurunnya sintesis eritropoietein pada ginjal. Sediaan apus darah tepi mengungkapkan anemia normokromik, normostik dengan sedikit sel burr dan sel helmet. Besi, feritin, dan transferin dalam serum biasanya normal kecuali kalau terdapat perdarahan gastrointestinal, atau terjadi kehilangan darah selama dialisis. Terapi penggantian dengan eritropoietin rekombinan manusia dapat memperbaiki anemia.
• Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
• Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
• Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
• Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
• Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
• Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
• Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
• Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
• PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
• Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
• Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
• Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
• Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
• SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
• Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
• Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10. Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial
2. Gambaran Radilogis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
• Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
• Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
• Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
• Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
• Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.(2:1037)
3.Pemeriksaan Lainnya :
DPL, ureum, kreatinin, UL, Tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI, TIBC,feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostatis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti HCV, Anti HIV.
2.6 Pencegahan
Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)
2.7 Komplikasi
1. Hiperkalemia, yang diakibatkan karena adanya penurunan ekskresi asidosis metabolic, Perikardistis efusi pericardial dan temponade jantung.
2. Hipertensi yang disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta malfungsi system renin angioaldosteron.
3. Anemia yang disebabkan oleh penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, dan pendarahan gastrointestinal akibat iritasi.
4. Penyakit tulang. Hal ini disebabkan retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah, metabolisme vitamin D, abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
5. Retensi cairan, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada lengan dan kaki, tekanan darah tinggi, atau cairan di paru-paru (edema paru)
Kerusakan permanen pada ginjal (stadium akhir penyakit ginjal), akhirnya ginjal membutuhkan dialysis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
• Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
• Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid ccondition)
• Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
• Pencegahan dan teerapi terhadap komplikasi
• Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi.
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi penggati ginjal.
Tatalaksana konservatif. Tujuan tatalaksana konservatif adalah memanfaatkan fungsi ginjal yang masih sisa setepat mungkin, menghindarkan faktor-faktor yang memperberat dan mencoba melambatkan progresi gagal ginjal.
Gagal ginjal kronis dapat diobati dengan manajemen konservatif insufisiensi ginjal dan dengan terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi. Pengobatan konservatif terdiri dari langkah-langkah untuk mencegah atau menghambat penurunan yang tersisa fungsi ginjal dan membantu tubuh dalam mengkompensasi kerugian yang ada.
Tatalaksana konservatif gagal ginjal kronik meliputi diet retriksi asupan kalium, fosfat, natrium, dan air untuk menghindari hiperkalemia, penyakit tulang dan hipervolemia. Hipervolemia ringan dapat menyebabkan hipertensi, dan mengarah ke penyakit vaskuler dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipervolemia berat menyebabkan edema paru. Tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan balans cairan ketat seharusnya diobati dengan inhibitor ACE, bloker reseptor angiotensin, β-blocker, atau vasodilatasor. Anemia seharusnya diobati dengan eritropoietin, setelah dipastikan tidak ada perdarahan dari saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat. Penyakit tulang diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengomsumsi senyawa pengikat fosfat bersama makanan, dan mengomsumsi vitamin D dalam bentuk 1-hidroksi-vitamin D3 atau 1,25-dihdroksi vitamin D3. Jika gangguan ginjal kronik bersifat berat, dialisis atau transplantasi ginjal biasanya diperlukan selain tata laksana di atas. Kualitas hidup pasien yang menururn dapat diperbaiki dengan tata laksana komplikasi gagal; ginjal kronik, terutama anemia.
Hemodialisis, Peritoneal Dialisis, dan Transplantasi Ginjal.
Gagal ginjal mencapai titik ketika ginjal tidak bisa lagi mengekskresikan air dan ion pada tingkat yang menjaga keseimbangan zat tubuh, juga tidak dapat mengekskresikan limbah produk secepat mereka diproduksi.
Perubahan diet dapat meminimalkan masalah ini. Sebagai contoh, menurunkan asupan kalium mengurangi jumlah kalium untuk dibuang, tetapi perubahan tersebut tidak dapat menghilangkan masalah. Teknik yang digunakan untuk melakukan fungsi ekskretoris ginjal adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis. Istilah "dialisis" umum berarti zat terpisah menggunakan membran.
Ginjal buatan adalah suatu alat yang menggunakan proses yang disebut hemodialysis untuk menghilangkan kelebihan zat dari darah. Selama hemodialisis, darah dipompa dari salah satu arteri pasien melalui pipa yang dikelilingi oleh cairan khusus dialisis. Tabung kemudian melakukan darah kembali ke pasien dengan cara vena. Pipa umumnya terbuat dari plastik yang sangat permeabel untuk sebagian zat terlarut tetapi relatif kedap protein dan benar-benar kedap darah sel-karakteristik cukup mirip dengan kapiler. Cairan dialisis sama dengan konsentrasi larutan garam dengan konsentrasi ion atau lebih rendah dibandingkan dalam plasma normal, dan tidak mengandung kreatinin, urea, atau zat lain untuk benar-benar dihapus dari plasma.
Pasien dengan gagal ginjal akut reversibel mungkin memerlukan hemodialisis hanya untuk beberapa hari atau minggu. Pasien dengan gagal ginjal kronis ireversibel memerlukan pengobatan untuk sisa hidup mereka, bagaimanapun, kecuali mereka menerima ginjal transplantasi. Pasien tersebut menjalani hemodialisis beberapa kali seminggu, sering di rumah. Cara lain untuk menghilangkan zat-zat yang berlebihan dari darah adalah dialisis peritoneal, yang menggunakan lapisan rongga perut pasien sendiri (peritoneum) sebagai membran dialisis. Fluida diinjeksikan, melalui jarum dimasukkan melalui dinding perut, ke dalam rongga ini dan diperbolehkan untuk tinggal di sana selama berjam-jam, di mana zat terlarut berdifusi ke cairan dari darah seseorang. Cairan dialisis ini kemudian dihapus dengan memasukkan kembali jarum dan diganti dengan cairan yang baru. Prosedur ini dapat dilakukan oleh seorang pasien yang secara bersamaan beberapa hari tiap kali melakukan aktivitas normal.
Pengobatan pilihan untuk kebanyakan pasien dengan gagal ginjal permenen adalah transplantasi ginjal. Penolakan dari transplantasi ginjal oleh tubuh penerima adalah potensi masalah dengan transplantasi, tetapi langkah besar telah dibuat dalam mengurangi frekuensi penolakan.
Hemodialisis.Hemodialisa berasal dari kata hemo=darah,dan dialisa=pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeabel ( Pardede, 1996 ).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
Tujuan Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
Proses Hemodialisa
Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut :
a) Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakian tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang dipindahkan ke dalam dialisat.
b) Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c) Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat ( Lumenta, 1996 ).
Frekuensi Hemodialisa.
Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika :
1 ) Penderita kembali menjalani hidup normal.
2 ) Penderita kembali menjalani diet yang normal.
3 ) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.
4 ) Tekanan darah normal.
5 ) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif ( Medicastore.com, 2006 )
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.
Dialisis peritoneal. Dialisis peritoneal menggunakan prinsip yang sama difusi, osmosis ultrafiltrasi, dan yang berlaku untuk hemodialisis. Membran serosa tipis dari peritoneumrongga berfungsi sebagai membran dialisis. Sebuah kateter silastic adalah operasi ditanamkan di rongga peritoneal bawah umbilikus untuk menyediakan akses. Kateter terowongan melalui jaringan subkutan dan keluar di sisi perut. Proses dialisis melibatkan menanamkan dialisis steril solusi (biasanya 2 L) melalui kateter selama jangka waktu sekitar 10 menit. Pada akhir waktu tinggal, cairan dialisis terkuras keluar dari rongga peritoneum oleh gravitasi menjadi steril tas. Glukosa dalam larutan dialisis rekening untuk menghilangkan air. Larutan dialisis komersial tersedia di 1,5%, 2,5%, dan konsentrasi dekstrosa 4,25%. Solusi dengan dekstrosa lebih tinggi meningkatkan tingkat osmosis, menyebabkan lebih banyak cairan untuk dihapus. Metode yang paling umum adalah kontinu rawat jalan peritoneal dialisis (CAPD), prosedur perawatan diri orang yang mengelola prosedur dialisis dan jenis larutan (yaitu, dekstrosa konsentrasi) digunakan di rumah.
Transplantasi. Tingkat keberhasilan sangat meningkat telah membuat transplantasi ginjal menjadi pilihan pengobatan bagi banyak pasien dengan gagal ginjal kronis. Ketersediaan organ donor terus membatasi jumlah transplantasi yang dilakukan setiap tahun. Organ donor yang diperoleh dari mayat dan donor hidup terkait (misalnya, orang tua, saudara). Keberhasilan transplantasi tergantung terutama pada tingkat histokompatibilitas, organ yang memadai pelestarian, dan manjemen imunologi.
Terapi Nonfarmakologis :
• Pengaturan asupan protein :
Pasien non dialisis 0,6-075 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien.
Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB/hari
Pasien peritoneal dialisis 1,3 Kal/kgBB/hari
• Pengaturan asupan kalori : 35Kal/kgBB ideal/hari
• Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
• Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total.
• Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari
• Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari
• Fosfor : 5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD ;17mg/hari.
• Kalsium : 1400-1600 mg/hari
• Besi : 10-18 mg/hari
• Magnesium : 200-300 mg/hari
• Asam folat pasien HD :5 mg
• Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (invesible water)
• Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD <5% BB kering.
Farmakologis :
• Kontrol tekanan darah :
Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II-> evaluasi kreatinin dan kallium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
Penghambat kalsium dan diuretik.
Pada pasien DM, kontrol gula darah -> hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbAlC untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat
Kontrol osteodistrofi renal : Kalsitriol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO320-22 mEq/l
Koreksi hiperkalemi
Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin
Terapi pengganti ginjal
2.9 Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP). Terapi diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksik azotemia tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen
Tujuan program diet rendah protein(DRE)
a. mempertahankan kkeadaan nutrisi optimal
b. mengurangi atau mencegah akumulasi toksin azotemia
c. mencegah menbruknyafaal ginjal (LFG) akibat proses glomerulosklerosis
Pasien kelompok GGK dengan LFG ≤ 5 ml per hari dan sindrom nefrotik dapat diberikan diuretika untuk memperlancar diuresis, misal furosemide. Takaran furosemide 40-80 mg per hari, dapat dinaikkan 40 mg per hari (interval 2 hari) sampai jumlah takaran maksimal 3 gram per hari.
Diet Rendah Protein untuk Penyakit Ginjal Kronik:
Selain faktor keturunan, diabetes, hipertensi, infeksi, batu ginjal, gaya hidup dan pola makan juga sangat berpengaruh kejadian penyakit ginjal kronik yang berakibat pada gagal ginjal. Agar kondisi ginjal tidak semakin parah, perlu dilakukan diet khusus bagi pederita penyakit ginjal kronik.
Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang menahun disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible). Gejalanya biasanya ditandai dengan menurunnya nafsu makan, mual, pusing, muntah, rasa lelah, sesak nafas, edema pada tangan dan kaki serta uremia. Apabila Tes Kliren Kreatinin (TKK) <> 5,5 mEq), oliguria atau anuria. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran melalui keringat dan pernafasan (± 500 ml)Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C dan vitamin D.
Kebutuhan nutrisi tubuh sangat dipengaruhi dengan berat badan, karenanya diet diberikan disesuaikan dengan berat badan pasien. Berdasarkan Penuntun Diet yang disarankan oleh Instalasi Gizi Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), jenis diet digolongkan menjadi tiga, yaitu diet rendah protein I: Asupan protein 30 g dan diberikan kepada pasien dengan berat badan 50 kg. Diet protein rendah II, asupan protein 35 g diberikan pasien dengan berat badan 60 kg. Diet protein rendah III, diberikan kepada pasien dengan berat badan 65 kg. Makanan diberikan dalam bentuk makanan cair atau lunak untuk meringankan organ pencernaan.
2.10 Diagnosa
1. Gangguan Pola nafas berhubungan dengan penurunan PH pada cairan serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru dan respon asidosis metabolik
2. Gangguan penurunan curah jantung berdasarkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, klasifikasi jaringan lunak.
3. Resiko kelebihan volume cairan berdasarkan penurunana volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR
4. Resiko penurunana perfusi serebral berdasarkan penurunan pH pada cairan serebrospinal sekunder darisidosis metabolic
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien
2. Identitas penanggung jawab
3. Keluhan Utama
Keluhan yang didapat biasanaya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak dapat BAB, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan, mual, muntah, mulut terasa kering, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Penyakit yang pernah diderita
b. Kebiasaan buruk: menahan BAK, minum bersoda
c. pembedahan
5. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama: nyeri, pusing, mual, muntah
6. Pemeriksaan fisik
a. Umum: Status kesehatan secara umum
b. Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu tubuh
c. Pemeriksaan fisik
3.2 Teknik pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
a) Kulit dan membran mukosa
Catat warna, turgor, tekstur, dan pengeluaran keringat.
Kulit dan membran mukosa yang pucat, indikasi gangguan ginjal yang menyebabkan anemia. Tekstur kulit tampak kasar atau kering. Penurunan turgor merupakan indikasi dehidrasi. Edema, indikasi retensi dan penumpukan cairan.
b) Mulut
Stomatitis, nafas bau amonia.
c) Abdomen
Klien posisi telentang, catat ukuran, kesimetrisan, adanya masa atau pembengkakan, kulit mengkilap atau tegang.
d) Meatus urimary
Laki-laki: posisi duduk atau berdiri, tekan gland penis dengan memakai sarung tangan untuk membuka meatus urinary. Wanita: posisi dorsal rekumben, litotomi, buka labia dengan memakai sarung tangan.
2) Palpasi
a) Ginjal
Ginjal kiri jarang teraba, meskipun demikian usahakan untuk mempalpasi ginjal untuk mengetahui ukuran dan sensasi. Jangan lakukan palpasi bila ragu karena akan merusak jaringan.
• Posisi klien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah kanan
• Letakkan tangan kiri di bawah abdomen antara tulang iga dan spina iliaka. Tangan kanan dibagian atas. Bila mengkilap dan tegang, indikasi retensi cairan atau ascites, distensi kandung kemih, pembesaran ginjal. Bila kemerahan, ulserasi, bengkak, atau adanya cairan indikasi infeksi. Jika terjadi pembesaran ginjal, maka dapat mengarah ke neoplasma atau patologis renal yang serius. Pembesaran kedua ginjal indikasi polisistik ginjal. Tenderness/ lembut pada palpasi ginjal maka indikasi infeksi, gagal ginjal kronik. Ketidaksimetrisan ginjal indikasi hidronefrosis.
• Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan menekan sementara tangan kiri mendorong ke atas.
• Lakukan hal yang sama untuk ginjal di sisi yang lainnya.
b) Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat dipalpasi, kecuali terjadi ditensi urin. Palpasi dilakukan di daerah simphysis pubis dan umbilikus. Jika kandung kemih penuh maka akan teraba lembut, bulat, tegas, dan sensitif.
3) Perkusi
a) Ginjal
Atur posisi klien duduk membelakangi pemeriksa
Letakkan telapak tangan tidak dominan diatas sudut kostavertebral (CVA), lakukan perkusi di atas telapak tangan dengan menggunakan kepalan tangan dominan.
Ulangi prosedur pada ginjal di sisi lainnya. Tenderness dan nyeri pada perkusi merupakan indikasi glomerulonefritis atau glomerulonefrosis.
b) Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat diperkusi, kecuali volume urin di atas 150 ml. Jika terjadi distensi, maka kandung kemih dapat diperkusi sampai setinggi umbilikus.
Sebelum melakukan perkusi kandung kemih, lakukan palpasi untuk mengetahui fundus kandung kemih. Setelah itu lakukan perkusi di atas region suprapubic.
4) Auskultasi
Gunakan diafragma stetoskop untuk mengauskultasi bagian atas sudut kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika terdengan bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan arteri renalis, maka indikasi adanya gangguan aliran darah ke ginjal (stenosis arteri ginjal).
Pemeriksaan Persistem
1) B1(Breathing). Klien bernapas dengan bau urine (factor uremik) sering didapatkan pada fase ini.Respon uremia didapatkan adanya pernapasan kussmaul.Pola nafas cepat dan merupakan adanya upaya untuk melakukan pembuangan karbondioksaida yang menumpuk di sirkulasi
2) B2(Blood). Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial.Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongesif, TD meningkat, akral dingin, CTR>3 detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak napas, gangguan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel.pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunana usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecendrungan mengalami pendarahan sekunder dari trombositopenia.
3) B3(Brain) Didapatkan penurunana kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses fikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
4) B4(Bladder)Penurunana urine output <400 ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat.
5) B5(Bowel)Didapatkan adanya mual muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebeutuhan.
6) B6(Bone)Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki( memburuk saat malam hari ), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam(sepsis, dehidrasi) ,petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium, pada kulit, jaringan lunak, dan sendi keterbatasan gerak sendi.Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunana perfusi perifer dari hipertensi.
3.3 Pengkajian Laboratorium
• Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien (1-2%) menderita nefropati “membuang garam” (salt wasting nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun diet natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
• Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat mengakibatkan hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan kenaikan BUN dan kreatinin serum; sementara asupan air yang terlalu banyak menyebabkan hiponatremia.
• Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai 10 mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah, sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin) dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV.
• Keseimbangan Asam-Basa
Asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit tubulointestinal yang kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen.
Asidosis dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.
• Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium. Hipokalsemia terjadi akibat menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorpsi kalsium oleh sistem gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi juga menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa). Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan gejala neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan pernapasan).
• Anemia. Anemia terutama terjadi akibat menurunnya sintesis eritropoietein pada ginjal. Sediaan apus darah tepi mengungkapkan anemia normokromik, normostik dengan sedikit sel burr dan sel helmet. Besi, feritin, dan transferin dalam serum biasanya normal kecuali kalau terdapat perdarahan gastrointestinal, atau terjadi kehilangan darah selama dialisis. Terapi penggantian dengan eritropoietin rekombinan manusia dapat memperbaiki anemia.
• Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
• Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
• Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
• Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
• Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
• Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
• Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
• Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
• PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
• Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
• Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
• Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
• Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
• SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
• Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
• Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10. Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial
11. DPL, ureum, kreatinin, UL, Tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI, TIBC,feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostatis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti HCV, Anti HIV.
3.4 Pengkajian Diagnostik
• Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
• Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
• Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
• Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
• Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
3.5 Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbanagn cairan elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai beriku
• Dialisis. Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjalyang serius, seperti hiperkalamia, perikarditis dan kejang.dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;menghilangkan kecendrungan perdarahan; dan membantu menyembuhkan luka
• Koreksi hiperkalemi. Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiper kalemi dapat menimbulkan kematian mendadak.hal yang pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalamia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa
• Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditunjukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian mencari apakah ada pendarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meningkatkan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner.
• Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonatdapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
• Pengendalian hipertensi. Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natruim.
• Transplatasi ginjal. Dengan pencangkokan ginjal yang sehat kepasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
3.6 Evalusi
Hasil yang diharpkan setelah pasien gagal ginjal kronik mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut:
1. Pola nafas kembali efektif
2. Tidak terjadi penurunan curah jantung
3. Tidak terjadi aritmia
4. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
5. Peningkatan perfusi serebral
6. Pasien tidak mengalami deficit neurologis
7. Tidak mengalami cidera jaringan lunak
8. Peningkatan integritas kulit
9. Terpenuhinya informasi kesehatan
10. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
11. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
12. Kecemasan berkurang
13. Mekanisme koping yang diterpkan positif
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea dalam darah.
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF), berdasarkan :
• Kelainan patologik atau
• Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
2. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.
4.2 Saran
Sebagai tindakan pencegahan sebaiknya kita banyak melakukan olahraga, menjaga asupan nutrisi yang adekuat serta istirahat yang teratur.
Semoga dengan pembelajaran ini kita sebagai mahasiswa keperawatan, akan lebih mudah mengetahui seluk beluk penyakit Gagal Ginjal Kronik, bagaimana gejala hingga komplikasinya sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien penderita gagal ginjal kronik kelak.
Daftar Pustaka
Nurarif,Amin Huda.Hardi Kusuma.2013.Aplikasi NANDA NIC-NOC.edisi revisi.Yogyakarta:Media Action Publishing
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.
Jakarta : EGC
Fransisca, Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : Salemba Medika
Arora P.et al.”Care of Elderly patiens with Chronic KidnyDisease”Int Urol Nephrol.18 Maret 2014/15.30 WIB
satyaexcel.blogspot.com/2012/10/makalah-penyakit-gagal-ginjal-kronik.html.diakses tgl 18 maret 2014
http://www.academia.edu/5662054/Makalah_Farmakoterapi_GagalGinjal_Kronikdiakses tgl 18 maret 2014
http://wwwnitamelliq.blogspot.com/2010/05/makalah-gagal-ginjal-kronik.html.diakses tgl 18 maret 2014