Zogie Ari Effendi | Kumpulan Materi Perkuliahan Keperawatan

Zogie Ari Effendi | Kumpulan Materi Perkuliahan Keperawatan
Stikes ICME Jombang

Tuesday 30 September 2014

Makalah Sindrom Steven-Johnson (SSJ)

Makalah Sindrom Steven-Johnson (SSJ)
 

BAB I

PENDAHULUAN

       I.            Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%

3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis

Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.

 

2. Tujuan

–    Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien sindrom steven johnson.

-         Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven johnson.
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

B.   Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:

a)    Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
b)    Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)    Neoplasma dan faktor endokrin

d)    Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)    Makanan

C.   Manifestasi Klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.

Gejala awal termasuk :

o   ruam

o   lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

o   bengkak pada kelopak mata, atau mata merah

o   konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)

o   demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a)    Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b)    Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c)    Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

Komplikasi :

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

D.  Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

 

 

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E.   Pemeriksaan laboratorium

a.        Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.

b.       CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.

c.        Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Adanya nekrosis sel epidermis
Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
F.   DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.

G.  Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.
Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat penyebab harus dihentikan.
Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.

Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.

Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya,

Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H.  Pengobatan SSJ/TEN

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.

Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

a.     Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian

Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan

Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody
   Terpangkap dalam jaringan kapiler
 Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
 Kerusakan jaringan kapiler/organ
   Akumulasi neutrofil
 

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak
kembali dengan antigen
Melepas limfosit dan sitotoksin
Reaksi radang
Kelainan kulit dan eritema
Inflamasi dermal dan epidermal
Gangguan integritas kulit
Nyeri
Kelainan selaput
lendir dari ofisiun
Kesulitan menelan
Intake in adekuat
Kelemahan fisik
< Nutrisi dari kebutuhan
Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata
G3 Persepsi sensori: penglihatan
Konjungtifitis

ASUHAN KEPERAWATAN

 

1.    Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

 

KH:

Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

 

Intervensi:

a.     Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.

           Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat

b.      Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

           Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi

c.      Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi

d.     Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

 

2.     Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

 

KH:

Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

 

Intervensi:

a.     Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

             Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan

b.     Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering

           Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

c.     Hidangkan makanan dalam keadaan hangat

           Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.     Kerjasama dengan ahli gizi

          Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

 

3.    Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

 

KH:

a.     Melaporkan nyeri berkurang

b.     Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:

a.     Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya

            Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

b.     Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit

          Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.     Pantau TTV

         Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.     Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

 

4.     Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

 

KH:

klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

a.     Kaji respon individu terhadap aktivitas

         Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

b.     Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien

        Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal

c.     Jelaskan pentingnya pembatasan energy

       Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.     Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien

      Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

 

 

5.    G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
 

Intervensi:

a.     Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual

b.     Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.

c.     Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.

d.     Orientasikan thd lingkungan.

-         Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

-         Berikan pencahayaan yang cukup.

-         Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

-         Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

-         Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

-         Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.     Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

BAB III

PENUTUP

a.     Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

b.     Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

       I.            Latar belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%

3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

Gambar 1.Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis

Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.

 

2. Tujuan

-    Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien sindrom steven johnson.

-         Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :

Mampu memberikan gambaran tentang pengkajian padaklien dengan sindrom steven johnson.
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
Mampu membuat rencana keparawatan pada klien dengan sindrom steven johnson.
Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom steven johnson.
BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

B.   Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:

a)    Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
Kloepromazin
Karbamazepin
Kirin Antipirin
Tegretol
b)    Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c)    Neoplasma dan faktor endokrin

d)    Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e)    Makanan

C.   Manifestasi Klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.

Gejala awal termasuk :

o   ruam

o   lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

o   bengkak pada kelopak mata, atau mata merah

o   konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)

o   demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a)    Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b)    Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c)    Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

Komplikasi :

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

D.  Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

 

 

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E.   Pemeriksaan laboratorium

a.        Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.

b.       CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.

c.        Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Adanya nekrosis sel epidermis
Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular
F.   DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.

G.  Penatalaksanaan

Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.
Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat penyebab harus dihentikan.
Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.

Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil.

Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya,

Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H.  Pengobatan SSJ/TEN

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.

Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

a.     Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian

Pathway
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan

Reaksi alergi tipe III

Terbentuknya kompleks antigen dan antibody
   Terpangkap dalam jaringan kapiler
 Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
 Kerusakan jaringan kapiler/organ
   Akumulasi neutrofil
 

Reaksi alergi tipe IV

Sel tak aktif, kontak
kembali dengan antigen
Melepas limfosit dan sitotoksin
Reaksi radang
Kelainan kulit dan eritema
Inflamasi dermal dan epidermal
Gangguan integritas kulit
Nyeri
Kelainan selaput
lendir dari ofisiun
Kesulitan menelan
Intake in adekuat
Kelemahan fisik
< Nutrisi dari kebutuhan
Gangguan intoleransi
aktivitas
Mata
G3 Persepsi sensori: penglihatan
Konjungtifitis

ASUHAN KEPERAWATAN

 

1.    Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

 

KH:

Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

 

Intervensi:

a.     Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.

           Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat

b.      Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

           Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi

c.      Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi

d.     Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

 

2.     Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

 

KH:

Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

 

Intervensi:

a.     Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

             Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan

b.     Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering

           Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

c.     Hidangkan makanan dalam keadaan hangat

           Rasional: meningkatkan nafsu makan

d.     Kerjasama dengan ahli gizi

          Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

 

3.    Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

 

KH:

a.     Melaporkan nyeri berkurang

b.     Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:

a.     Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya

            Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

b.     Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit

          Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

c.     Pantau TTV

         Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

d.     Berikan analgetik sesuai indikasi

Rasional: menghilangkan rasa nyeri

 

4.     Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

 

KH:

klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

a.     Kaji respon individu terhadap aktivitas

         Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

b.     Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien

        Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal

c.     Jelaskan pentingnya pembatasan energy

       Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

d.     Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien

      Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

 

 

5.    G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
 

Intervensi:

a.     Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual

b.     Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.

c.     Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.

d.     Orientasikan thd lingkungan.

-         Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.

-         Berikan pencahayaan yang cukup.

-         Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

-         Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

-         Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

-         Gunakan jam yang ada bunyinya.

e.     Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

BAB III

PENUTUP

a.     Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson merupakan hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

b.     Saran

Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu penyakit osteosarkoma ini sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar.2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Price dan Wilson.1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

Monday 29 September 2014

Anatomi Dan Fisiologi System Reproduksi Pria Dan Wanita

Anatomi dan Fisiologi Alat Reproduksi Wanita
Organ reproduksi perempuan terbagi atas organ genitalia eksterna dan organ genitalia interna. Organ genitalia eksterna dan vagina adalah bagian untuk sanggama, sedangkan organ genitalia interna adalah bagian untuk ovulasi, tempat pembuahan sel telur, transportasi blastokis, implantasi, dan tumbuh kembang janin (Prawirohardjo, 2009)

a.Organ Genitalia Eksterna
Organ genitalia eksterna terdiri dari (Prawirohardjo, 2009):
1. Vulva (pukas) atau pudenda,
meliputi seluruh struktur eksternal yang dapat dilihat mulai dari pubis sampai perineum, yaitu mons veneris, labia mayora dan labia minora, klitoris, selaput darah (hymen), vestibulum, muara uretra, berbagai kelenjar, dan struktur vaskular.
2. Mons veneris atau mons pubis
adalah bagian yang menonjol di atas simfisis dan pada perempuan setelah pubertas ditutup oleh rambut kemaluan. Pada perempuan umumnya batas atas rambut melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah sampai ke sekitar anus dan paha.
3. Labia mayora (bibir-bibir besar)
terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke bawah, terisi oleh jaringan lemak yang serupa dengan yang ada di mons veneris. Labia mayora analog dengan skrotum pada pria.
4. Labia minora (bibir-bibir kecil atau nymphae)
adalah suatu lipatan tipis dan kulit sebelah dalam bibir besar. Kulit yang meliputi bibir kecil mengandung banyak glandula sebasea (kelenjar-kelenjar lemak) dan juga ujung-ujung saraf yang menyebabkan bibir kecil sangat sensitif. Jaringan ikatnya mengandung banyak pembuluh darah dan beberapa otot polos yang menyebabkan bibir kecil ini dapat. mengembang.
5. Klitoris
kira-kira sebesar kacang ijo, tertutup oleh preputium klitoridis dan terdiri atas glans klitoridis, korpus klitoridis, dan dua krura yang menggantungkan klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas jaringan yang dapat mengembang, penuh dengan urat saraf, sehingga sangat sensitif.
6. Vestibulum
berbentuk lonjong dengan ukuran panjang dan depan ke belakang dan dibatasi di depan oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibir kecil dan di belakang oleh perineum (fourchette).
7. Bulbus Vestibuli sinistra et dekstra
merupakan pengumpulan vena terletak di bawah selaput lendir vestibulum, dekat namus ossis pubis. Panjangnya 3-4 cm, lebarnya 1-2 cm dan tebalnya 0,5-1 cm. Bulbus vestibuli mengandung banyak pembuluh darah, sebagian tertutup oleh muskulus iskio kavernosus dan muskulus konstriktor vagina.
8. Introitus Vagina
mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Pada seorang Virgo selalu dilindungi oleh labia minora yang baru dapat dilihat jika bibir kecil ini dibuka. Introitus vagina ditutupi oleh selaput dara (himen). Himen ini mempunyai bentuk berbeda-beda, dan yang semilunar (bulan sabit) sampai yang berlubang-lubang atau yang bersekat (septum).
9. Perineum
terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Jaringan yang mendukung perineum terutama ialah diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis.
Gambar 1 Anatomi Organ Genetalia Eksterna Wanita
b.Organ Genitalia Interna
Organ genitalia interna pada wanita terdiri dari (Prawirohardjo, 2009):
1.      Vagina (Liang Kemaluan/Liang Senggama)
Setelah melewati introitus vagina, terdapat liang kemaluan (vagina) yang merupakan suatu penghubung antara. introitus vagina dan uterus. Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain, masing-masing panjangnya berkisar antara 6-8 cm dan 7-10 cm. Bentuk vagina sebelah dalam yang berlipat-lipat disebut rugae.
2.      Uterus
Uterus berbentuk seperti buah avokad atau buah pir yang sedikit gepeng ke arah depan belakang. Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina, sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri).
Uterus rnempunyai tiga fungsi yaitu dalam siklus menstruasi sebagai peremajaan endometrium, dalam kehamilan sebagai tempat tumbuh dan berkembang janin, dan dalam persalinan berkontraksi sewaktu melahirkan dan sesudah melahirkan (Hacker, 2001).
Uterus terdiri atas (1) fundus uteri; (2) korpus uteri; dan (3) serviks uteri.Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal; di situ kedua tuba Falloppii masuk ke uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar.Pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang, Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas (1) pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio; (2) pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada di atas vagina.
Saluran yang terdapat dalam serviks disebut kanalis servikalis, berbentuk seperti saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks, berbentuk sel-sel torak bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum.
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di bawah ismus. Di anterior, batas atas serviks yaitu osintema, terletak kurang lebih setinggi pantulan peritoneum pada kandung kemih. Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi atas segmen vaginal dan supravaginal. Permukaan posterior segmen supravaginal tertutup peritoneum. Di bagian lateral, serviks menempel pada ligamentum kardinal; dan di bagian anterior, dipisahkan dan kandung kemih yang menutupinya oleh jaringan ikat longgar. Os ekstema terletak pada ujung bawah segmen vaginal serviks, yaitu porsio vaginalis (Rasjidi, 2008).
Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas (1) endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri; (2) otot-otot polos; dan (3) lapisan serosa, yakni peritoneum viserale. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk, Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid perempuan dalam masa reproduksi.
Uterus diberi darah oleh arteria Uterina kiri dan kanan yang terdiri atas ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari arteria Iliaka Interna (disebut juga arteria Hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memberi pula darah ke uterus adalah arteria Ovarika kiri dan kanan. Inervasi uterus terutama terdiri atas sistem saraf simpatetik dan untuk sebagian terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal.
3.   Tuba Falloppi
Tuba Falloppi terdiri atas (1) pars irterstisialis, yaitu bagian yang terdapat di dinding uterus; (2) pars ismika merupakan bagian medial tuba yang sempit seluruhnya, (3) pars ampullaris, yaitu bagian yang berbentuk sebagai saluran agak lebar, tempat konsepsi terjadi; dan (4) infundibulum, yaitu bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunyai fimbriae. Fimbriae penting artinya bagi tuba untuk menangkap telur dan selanjutnya menyalurkan telur ke dalam tuba. Bentuk infundibulum seperti anemon (sejenis binatang laut).
4.   Ovarium (Indung Telur)
Perempuan pada umumnya mempunyai 2 indung telur kanan dan kiri. Mesovarium menggantung ovanium di bagian belakang ligamentum latum kiri dan kanan. Ovarium berukuran kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm.




Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Pria
Organ reproduksi pria terbagi menjadi dua yaitu genetalia eksterna dan interna. Genitalia eksterna terdiri dari penis, glans, skrotum. Sedangkan genetalia interna terdiri dari testis (pelir), epidydimis, vas deferens (saluan sperma) , uretral(saluran kencing), mulut uertral, dan kandung kencing.


1.      Genetalian eksterna
a.      Penis
Yaitu alat kelamin luar yang berfungsi sebagai alat persetubuhan serta alat senggama dan juga sebagai saluran untuk pembuangan sperma dan air seni.
            Waktu lembek dengan mengukur dari pangkal dan ditarik sampai ujung sekitar 9-12 cm. Sebagian ada yang lebih pendek dan juga ada yang lebih panjang. Pada saat ereksi yang penuh, penis akan memanjang dan membesar sehingga menjadi sekitar 10-14 cm. Pada orang Caucasian (barat) atau orang timur tengah lebih panjang dan lebih besar sekitar 12,2-15,4 cm.
            Penis terdiri dari 3 bagian utama yaitu dua yang besar di atas ialah corpora cavernosa berfubngsi ketika ereksi dan satu bagian yang lebih kecil di bawah (corpus spongiosum) berfungsi sebagai saluran air seni ketika kencing dan saluran untuk sperma ketika ejakulasi.
Penis sebagai alat penting dalam hubungan seks baik untuk kreasi atau prokreasi. Struktur anatominya terdapat bagian yang disebut kapernus yang dapat membesarkan dan memberikan ketegangan pada penis.

b.         Glans
Adalah bagian depan atau kepala penis. Glans banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Kulit yang menutupi glans disebut foreskin (preputium). Di beberaa Negara memiliki kebiasaan membersihkan daerah sekitar preputium ini atau dikenal dengan yang namanya sunat.


c.       Skrotum
Adalah sebuah kantung kulit yang menggantung di bawah penis. Skrotim ini berfungsi untuk melindungi testis, berwarna gelap dan berlipat - lipat. Skrotum mengandung otot polos yang mengatur jarak jauh testis ke dinding perut dengan maksud mengatur suhu testis agar relative tetap. Biasanya skrotum sebelah kiri tergantung lebih rendah dari yang kanan karena saluran sperma sebelah kiri lebih panjang.
Skrotum (kandung buah pelir) ini merupakan sebuah struktur berupa kantong yang terdiri atas kulit tanpa lemak subkutan, berisi sedikit jaringan otot. Testis (buah pelir) berada di dalamnya, setiap testis berada dalam pembungkus yang bernama tunika vaginais, yang dibentuk peritoneum.


2.      Genitalia Interna
a.      Testis (pelir)
Testis berjumlah dua buah berbentuk oval yang berisi tubulus seminiferus. Pada tubulus seminiferus ini terdiri dari atas dua jenis sel yaitu, sel sertoli atau penyokong dan sel yang membawa sifat atau garis turunan spermatogenik.
Oragn kecil ini berdiameter sekitar 5cm pada orang dewasa. Saat melewati masa pubertas, saluran khusus berbentuk kuil di dalam testis mulai membuat sel - sel sperma. Testis juga memiliki tanggung jawab lain yaitu membuat hormone testosterone. Testis merupakan tempat spermatozoa dibentuk dan hormone kelamin laki - laki.
Organ kelamin ini berkembang di dalam rongga abdomen sewaktu janin dan turun melalui saluran inguinal kanan dan kiri masuk ke dalam skrotum menjelang akhir kehamilan. Testis ini terletak oblik menggantung pada urat - urat spermatic di dalam skrotum.
Testosterone atau hormone kelamin laki - laki yang di bentuk testis disekresikan oleh sel interstisiil yaitu sel - sel yang terletak di dalam ruang anatara tubula - tubula seminiferus testis dibawah rangsangan hormone perangsang sel interstisiil ( ICSH) dari hipofisis yang sebenarnya adalah bahan yang sama dengan hormne luteinizing (LH). Pengeluaran testoteron bertamabah dengan nyata pada masa pubertas dan bertanggung jawab atas pengembangan sikap - sikap kelamin sekunder yaitu pertumbuhan jenggut, sura lebih berat dan pembesaran genitalia.

b.      Saluran Reproduksi

1.      Epydidimis
Yaitu saluran - saluran yang lebih besar dan berkelok - kelok yang membentuk bangunan seperti topi. Sperma yang dihasilkan oleh testis akan berkumpul di epydidimis. Oragan kecil ini terletak di belakang testis serta terkait padanya. Terdiri atas sebuah tabung sempit yang sangata panjang dan meliku -liku di belakang testis. Melalui tbung ini sperma berjalan dari testis masuk ke dalam vas deferens.
Epydidimis akan mengantarkan sperma (yang di produksi oleh testis) keluar. Perjalanan yang cukup panjang harus ditempuh oleh sperma sekitar 4 - 6 minggu perjalanan dalam epydidimis. Lebih sederhana lagi epydidimis tempat pematangan sperma lebih lanjut dan tempat penyimpanan sperma sementara.

2.      Vas Deferens ( Saluran Sperma)
Yaitu seluran yang menyalurkan dari testis menuju ke vesikulan seminalis ( kantog sperma). Vas deferens panjangnya kurang lebih 4,5 cm dengan diameter kurang lebih 2,5 mm.
Arah vas deferens ini ke atas, kemudian melingkar di salah satu ujungnya berakhir pada kelenjar prostat. Vas deferens adalah sebuah saluaran yang berjalan dari bagian bawah epydidimis. Naik di belakang testis, masuk ke tali mani ( funikulus spermatikus), dan mencapai rongga abdomen melalui saluran inguinal, dan akhirnya berjalan masuk ke dalam pelvis. Vas deferens merupakan kelanjutan dari saluran epydidimis yang dapat diraba dari luar. Kontap (kontrasepsi mantap) pria di lakukan dengan memotong saluran ini, sehingga tidak mungkin memberikan kehamilan.
Sistem hormonal pria yang kompek sama dengan wanita, tetapi terdapat perbedaan pada beberapa hal yaitu pada sistem hubungan panca indera, pusat pubertas inhibitor, hypotalamos, hipofise, dan kelenjar testis. Melalui rangsangan panaca indera diteruskan dalam sistem hypothalamus - hipofise - testis sehingga berangsur - angsur dapat menerima rangasangan.hypotalamus mengeluarkan gonadotropik stimulating hormone melalui sistem portal, sehingga hipofise anterior mengeluarkan hormone gonadotropik. Interstitial cell stimulating hormone ( ICSH) mrangsang sel leydig. Sekitar umur 13-14 tahun terdapat perubahan suara sebagai tanda akil - baligh dan mengeluarkan saat tidur ( nuchturnal orgasm ). Pembentukan spermatozoa melalui proses spermatogenesis yang berasal dari sel sartoli pada tubulus testis, merupakan mata rantai yang panjang. Sel leydig yang berperan aktif sehingga akhirnya terbentuk dua spermatozoa X dan spermatozoa Y.
Dalam berhubungan seks pria bereran aktif untuk memberikan rangsangan sehingga dapat menimbulkan keinginan seks wanita, dengan sentuhan halus di daerah erogen. Dengan melakukan sentuhan halus sebagian besar pria telah menimbulkan pada dirinya sendiri pada keinginan seks.
Factor yang menyebabkan pembagian ini bersumber dari konsep dasar fenomena orgasme yang meliputi vasokongesti ( penimbunan darah ) dan miotonik ( peningkatan tonus otot ). Siklus seksualisme lengkap ini bukan merupakan batas tegas tetapi merupakan mata rantai.


3.      Uretra (Saluran Kencing)
Yaitu saluran untuk mengeluarkan air mani dan air seni. Uretra merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat di dalam penis

4.      Mulut Uretra
Adalah awal dari saluran kencing / uretra.

5.      Kandung Kencing
Kandung kencing merupakan tempat penampungan sementara air yang berasal dari ginjal (air seni).


KELENJAR KELAMIN
      Saluran kelamin laki-laki dilengkapi 3 kelenjar yang dapat mengeluarkan secret / semen.

a.      Vesikula Seminalis
Vesikula seminalis sering juga di sebut dengan kandung mani yaitu dua buah kelenjar tubuler yang terletak kanan dan kiri di belakang leher kandung kencing. Salurannya bergabung dengan vasa defrentia, untuk membentuk saluran eyakulator (ductus ejaculatorius communis). Secret vesika seminalis adalah komponen pokok dari air mani.
Vesikula seminalis berjumlah sepasang dan letaknya di atas dan di bawah kandung kencing. Vesikula seminalis panjangny 5-10 cm, berupa kantong seperti huruf "S" berbelok-belok. Bermuara pada ductus deferens pada bagian yang hamper masuk prostat, dindingnya tipis mengandung serabut otot dan mokusa.


b.      Kelenjar Prostat
Besar kelenjar prostat kira-kira sbesar buah walnut atau buah kenari besar, letaknya di bawah kandung kencing, mengelilingi uretra dan terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos. Prostat mengeluarkan sekrt cairan yang bercampur dengan secret dari testis. Pembesaran prostat akan membendung  uretra dan menyebabkan retensio urinae.
Kelnjar prostat merupakan pembentuk cairan yang akan bersama-sama keluar saat ejakulasi dalam hubungan seksual. Kelenjar ini berada di bagian dalam dan berfungsi membentuk cairan pendukung spermatozoa.
Kelenjar ini terletak di bawah vesika urinaria. Panjangnya kurang lebih 3 cm.

c.       Kelenjar Cowper
Kelenjar kecil ini berjumlah sepasang dan terletak di sepanjang uretra.

Saturday 27 September 2014

PEMFIS Sistem Imun Dan Hematologi

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM IMUN HEMATOLOGIBAB IPENDAHULUANA.   Latar BelakangPemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu sistim atau suatu organ tubuh dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) danmendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond,2009; Terj D. Lyrawati,2009).Pemeriksaan fisik adalah metode pengumpulan data yang sistematik dengan memakai indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa untuk mendeteksi masalah kesehatan klien.Untuk pemeriksaan fisik perawat menggunakan teknik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Craven & Hirnle, 2000; Potter& Perry, 1997; Kozier et al., 1995).Pemeriksaan fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat keperawatan klien.Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan wawancara.Fokus pengkajian fisik keperawatan adalah pada kemampuan fungsional klien.Misalnya , klien mengalami gangguan sistem muskuloskeletal, maka perawat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi klien dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari atau tidak.B.    Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas adapun masalah yangdapat kami kaji dalam makalah ini yaitu:1.     Apa yang dimaksud dengan pengkajian fisik?2.     Bagaimana pengkajian umum sistem hematologi?3.     Bagaimanapengkajian fisik?4.     Bagaimanapendekatan pengkajian fisik?5.     Bagaimana pengkajiansistem  kekebalan  tubuh6.     Apa saja pemeriksaan  penunjanguntuk sistem imun hematologi?C.   TujuanDalam pembuatan makalah ini, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:1.     Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengkajian fisik.2.     Untuk mengetahuibagaimana pengkajian umum sistem hematologi.3.     Untuk mengetahuibagaimanapengkajian fisik.4.     Untuk mengetahuibagaimanapendekatan pengkajian fisik.5.     Untuk mengetahuibagaimana pengkajiansistem  kekebalan  tubuh6.     Untuk mengetahuiapa saja pemeriksaan  penunjanguntuk sistem imun hematologi.D.   ManfaatAdapun manfaat dari pembuatan makalah ini semoga makalah ini bisa membantu mahasiswa untuklebih mengetahui tentang pengkajian fisik pada sistem imun hematologi  dan menambah wawasan pengetahuan mahasiswa tentang bagaimana pengkajian pada sistem imun hematologi.BAB IIPEMBAHASANA.   Definisi1.     Pemeriksaan fisik merupakan peninjauan dari ujung rambut sampai ujung kaki pada setiap system tubuh yang memberikan informasi objektif tentang klien dan memungkinkan perawat untuk mebuat penilaian klinis. Keakuratan pemeriksaan fisik mempengaruhi pemilihan terapi yang diterima klien dan penetuan respon  terhadap terapi tersebut.(Potter dan Perry, 2005).2.     Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematif dan komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa, menentukan masalah dan merencanakan tindakankeperawatan yang tepat bagi klien. ( Dewi Sartika, 2010)B.    Pengkajian Umum Sistem HematologiPengkajian fisik adalah keterampilan paling esensial yang memerlukan banyak latihan dalam melakukannya. Tujuan melakukan pengkajian fisik adalah  untuk mengembangkan pemahaman tentang masalah medis pasien dan membuat diagnosis banding.Pengkajian pada klien dengan gangguan hematologi perlu dilakukan dengan teliti, sistematis, serta memahami dengan baik fisiologis dari setiap organ system hematologi. Hal ini perlu dilakukan agarkemungkinan adanya kesulitan dikarenakan gambaran klinis atau tanda serta gejala yang hampir sama antara gangguan hematologi primer dan sekunder dapat diminimalkan.Informasi dilakukan baik dari klien maupun keluarga tentang riwayat penyakit dan kesehatan dapatdilakukan dengan anamnesis ataupun pemeriksaan fisik.Agar data dapat terkumpul dengan baik dan terarah, sebaiknya dilakukan penggolongan atau klasifikasi data berdasarkan identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan, keadaan fisik, psikologis, sosial, spiritual, intelegensi, hasil-hasil pemeriksaan dan keadaan khusus lainnya.Metode yang digunakan dalam pengumpulan data keperawatan pada tahap pengkajian adalah wawancara (interview), pengamatan (observasi), dan pemeriksaan fisik(pshysical assessment). dan studi dokumentasi.1.     WawancaraBiasa juga disebut dengan anamnesa adalah menanyakan atau tanya jawab yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien dan merupakan suatu komunikasi yang direncanakan. Dalam berkomunikasi ini perawat mengajak klien dan keluarga untuk bertukar pikiran dan perasaannya yang diistilahkan teknik komunikasi terapeutik.Macam wawancaraa.      Auto anamnesa yaitu wawancara dengan klien langsungb.     Allo anamnesa yaitu wawancara dengan keluarga / orang terdekat.Teknik Pengumpulan Data Yang Kurang Efektif :a.      Pertanyaan tertutup : tidak ada kebebasan dalam mengemukakan pendapat / keluhan / respon. misalnya : “Apakah Anda makan tiga kali sehari ?“b.     Pertanyaan terarah : secara khas menyebutkan respon yang diinginkan. Misalnya : “……………. Anda setuju bukan?”c.      Menyelidiki : mengajukan pertanyaan yang terus-menerusd.     Menyetujui / tidak menyetujui. Menyebutkan secara tidak langsung bahwa klien benar atau salah. Misalnya : “Anda tidak bermaksud seperti itu kan?”2.     ObservasiTahap kedua dalam pengumpulan data adalah pengamatan, dan pada praktiknya kita lebih seringmenyebutnya dengan observasi. Observasi adalah mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien.Tujuan dari observasi adalah mengumpulkan data tentang masalah yang dihadapi klien melalui kepekaan alat panca indra.Contoh kegiatan observasi misalnya : terlihat adanya kelainan fisik, adanya perdarahan, ada bagian tubuh yang terbakar, bau alkohol, urin, feses, tekanan darah, heart rate, batuk, menangis, ekspresi nyeri, dan lain-lain.3.     Pemeriksaan FisikTahap ketiga dalam pengumpulan data adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat keperawatan klien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik keperawatan adalah pada kemampuan fungsional klien. Misalnya , klien mengalami gangguan sistemmuskuloskeletal, maka perawat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi klien dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari atau tidak.Tujuan dari pemeriksaan fisik dalam keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah klien dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan keperawatan.Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik yaitu :a.     InspeksiInspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan. Cahaya yang adekuat diperlukan agar perawat dapat membedakan warna, bentuk dan kebersihan tubuh klien. Fokus inspeksi pada setiap bagiantubuh meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk,posisi, simetris. Dan perlu dibandingkan hasilnormal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya. Contoh : mata kuning (ikterus), terdapat struma di leher, kulit kebiruan (sianosis), dan lain-lain.b.     PalpasiPalpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya tentang : temperatur, turgor, bentuk,kelembaban, vibrasi, ukuran.Langkah-langkah yang perlu diperhatikan selama palpasi :1)     Ciptakan lingkungan yang nyaman dan santai.2)     Tangan perawat harus dalam keadaan hangat dan kering3)     Kuku jari perawat harus dipotong pendek.4)     Semua bagian yang nyeri dipalpasi paling akhir.Misalnya : adanya tumor, oedema, krepitasi (patah tulang), dan lain-lain.c.      PerkusiPerkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri kanan) dengan tujuan menghasilkan suara.Perkusi bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsistensi jaringan. Perawat menggunakan kedua tangannya sebagai alat untuk menghasilkan suara.Adapun suara-suara yang dijumpai pada perkusi adalah :1)     Sonor : suara perkusi jaringan yang normal.2)     Redup : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya di daerah paru-paru pada pneumonia.3)     Pekak : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada perkusi daerah jantung,perkusi daerah hepar.4)     Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong, misalnya daerah caverna paru, pada klien asthma kronik.dan timpani pada ususd.     AuskultasiAuskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah :1)      Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya padaklien pneumonia, TBC.2)      Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupunsaat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada edema paru.3)      Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.4)      Pleura Friction Rub ; bunyi yang terdengar “kering” seperti suara gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada klien dengan peradangan pleura.C.   Pengkajian Fisik1.     Pasien anak-anak/pediatrik                                 Pemeriksaan fisik seorang anak dilakukan secara terstruktur dan sistematik, tetapi pendekatan cephalocaudal yang biasanya lebih disukai untuk orang dewasa mungkin tidak selalu dapat dilakukan dengan sempurna pada anak-anak. Untuk anak-anak yang lebih dewasa dan remaja, urutan pemeriksaan  seperti pada pasien dewasa mungkin dapat dilakukan, tetapi makin muda pasiennya maka makin besar kemungkinannya untuk menggunakan pendekatan “oportunisik” untuk dapat memperoleh data pengkajian vital.2.     Pasien usia lanjut/geriatrikPengkajian pasien geriatric cukup kompleks dan memakan waktu, tergantung pada tingkat keragaman, tingkat kronis dan kompleksitas masalah fisik yang mendasari. Pemeriksaan fisik umum sama seperti pada pasien dewasa; namun, perubahan posisi diusahakan sesedikit mungkin. Ruangan harus dijaga sedikit lebih hangat, atau diperlukan selimut tambahan. Kadang-kadang, ketidakmampuan pasien untuk mencapai atau mempertahankan posisi optimal membuat pemeriksa harus menyesuaikan posisinya gar dapat melakukan pengkajian secara adekuat.D.   Pendekatan Pengkajian Fisik Pendekatan pengkajian fisikdapat menggunakan :1. Head to toe (kepala ke kaki)Pendekatan ini dilakukan mulai dari kepala dan secara berurutan sampai ke kaki. Mulai dari :keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan tenggorokan, leher, dada, paru, jantung, abdomen, ginjal, punggung, genetalia, rectum, ektremitas.2. ROS (Review of System / sistem tubuh)Pengkajian yang dilakukan mencakup seluruh sistem tubuh, yaitu : keadaan umum, tanda vital, sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem persyarafan, sistem perkemihan, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal dan integumen, sistem reproduksi. Informasi yang didapat membantu perawat untuk menentukan sistem tubuh mana yang perlu mendapat perhatian khusus.3. Pola fungsi kesehatan Gordon, 1982Perawat mengumpulkan data secara sistematis dengan mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik pada masalah khusus meliputi : persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan, nutrisi-pola metabolisme, pola eliminasi, pola tidur-istirahat, kognitif-pola perseptual, peran-pola berhubungan, aktifitas-pola latihan, seksualitas-pola reproduksi, koping-pola toleransi stress, nilai-pola keyakinan.4. Doengoes (1993)Mencakup : aktivitas / istirahat, sirkulasi, integritas ego, eliminasi, makanan dan cairan, hygiene, neurosensori, nyeri / ketidaknyamanan,pernafasan, keamanan, seksualitas, interaksi sosial, penyuluhan / pembelajaran.E.    PengkajianSistem  Kekebalan  Tubuh1.Identitas  Pasien meliputi nama, umur, seks, suku/bangsa, pendidikan, status perkawinan, alamat2.Riwayat  kesehatan meliputi:a.      Keluhan  utama1)     Kelelahan2)     Demam3)     Diaforesis, keringat  malam4)     Kemerahan5)     Kelemahan muscular6)     Nyeri / pembengkakan sendi7)     Penurunan berat badan8)     Proses pemulihan  burukb.     Riwayat  kesehatan  sekarangApakah pasien masih merasakan kelelahan, demam, diaforesis, kemerahan, kelemahan muscular, nyeri / pembenngkakansendi, penurunan berat badan,. Apakah masih terdapat massa yang tidak biasa, limfadenopati, proses pemulihan buruk, hepatomegali, perubahan tanda-tanda vital.c.      Riwayat  penyakit  sekarang/menyertai1)     Infeksi berulang        :  sering, khususnya virus2)     Infeksi opurtunistik  :  jamur protozoa, atau virus.d.     Riwayat penyakit dahulu1)     Alergi2)     Autoimun3)     Proses infeksi4)     Penyakit transmisi seksual5)     Hepatitis6)     Pemajanan terhadap agen kimia7)     Iradiasie.      Riwayat  keluarga1)     Kanker2)     Gangguan  imun3)     Alergif.      Riwayat  sosial1)     Merokok2)     Penggunaan alkohol3)     Peningkatan stres4)     Pilihan seksual5)     Pasangan seks multipel6)     Penggunaan obat iv, pemakaian jarum bersama-samag.     Riwayat  pengobatan1)     Imunisasi2)     Menerima darah atau produk darahsebelum 19853)     Hidralazin4)     Prokainmid5)     Isoniazid6)     Penggunaan obat-obatan iv secara gelap1.Riwayat  kesehatana.      Keadaan  umum meliputi tanda-tanda vital ( nadi, respirasi, tekanan darah,suhu), tinggi badan dan berat badan.  b.     Sistem  integumen1)     Sensitivitas matahari2)     Berkilau, kulit tegang diatas sendi yang rusak3)     Modul subkutaneus diatas tonjolan tulang4)     Kemerahan5)     Eritema : “kupu-kupu” pada pipi dan hidung : nodusum6)      bercak putih, abu-abu/putih pada mukusa7)     Lesi merah sampai ungu / coklat8)      vesikel herpetic9)     Olserasi oral, nasal10) Kista tulang ; tangan ; kaki11) Perlambatan pemulihan luka12) Alopesia parsialc.      Sistem  syaraf  pusat1)     Umum  meliputi sakit kepala, parestesia, paralisis, neuritis, perubahan kesadaran.2)     Kognitif   meliputi kerusakan memori, kerusakan konsentrasi, penurunan proses berpikir, dan kacau mental.3)     Motorik meliputi gaya berjalan,kelemahan tungkai bawah,penurunan koordinasi tangan,tremordankejang.4)     Perilaku   meliputi kurang menjiwai,menarik diri, emosional labil, perubahan kepribadian, ansietas, mengind.     Sistem  penglihatan meliputi fotokobia, berkurangnya lapang pandang penglihatan, diplopia, kebutaan, pandangan kabur, katarak, badan cytoid retinal, kinjungtivitas& ureitis, proptosis, papiledemae.      Sistem  pernafasanmeliputisesak nafas,dipsnea, ispa  sering, batuk, takipnea, sianosis, pendarahan, hipertensi pulmoner, fibrosisf.      Kardiovaskuler meliputi palpitasi, lakikardia,nyeri dada dari sendang sampai berat, hipertensi, murmur, kardiomegali, danfenimena reynoud’sg.     Sistem  gastrointestinal meliputi anorexia, mual, disfagia, nyeri abdomen, kram, kembung, gatal pada rectum, nyeri, penurunan berat badan, tidak disengaja, muntah, diare, fisura tektum, pendarahan, hepatosplenomegalih.     Sistem  gonotourinarius meliputi hemakuria,serpihan selular, azotemia, nyeri panggul, nyeri pada waktu berkemih,  reynoud’si.       Sistem  muskuloskeletal meliputi nyeri dan kekacauan sendi, kelemahan muscular, parestesia pada tangan dan kaki, artralgia, peradangan/pembengkakan sendi, kerusakan fungsi sendi, nodul-nodul subkutan pada tonjolan hati dan edema jaringan lunakj.       Sistem  hematologi meliputi petekie, purpura,mudah memar,epistaksisdanpendarahan gusik.     Sistem   limfatik meliputi limpadenopatidan splenomegaliF.    Pemeriksaan  Penunjang1.Elisa  Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall. Enzim-Linked immune sorbent assay (ELISA) atau dalam Bahasa Indonesianya disebutsebagai uji penentuan kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologiyang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibody dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologiuntuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibody dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibody IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya, misalya pada saat terkena virus HIV).Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll.                                1.Test  alergi Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan. Istilahalergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Tes alergi adalah suatu cara untuk menentukan penyebab alergi.Beberapa jenis tes alergi seperti tes tusuk kulit (Skin Prick Test),tes tempel (Patch Test),tes RAST (Radio Allergo Sorbent Test), tes kulit intrakutan,tes provokasi dan eliminasi makanandantes provokasi obat1.Test  bone marraw   Sumsum tulang adalah jaringan lunak dan berlemak yang terdapat dalam rongga hampir semua tulang. Jaringan ini memainkan peran utama dalam pembentukan sel darah. Dalam biopsi sumsum tulang, jaringan lunak dari bagian dalam tulang diekstrak untuk tujuan diagnostik.Biopsi sumsum tulang lazim digunakan untuk mengidentifikasi kelainan darah seperti anemia, infeksi darah, leukemia, dan kanker sumsum tulang.1.Limfanglografi          Limfanglografi adalah pemeriksaan X-ray dengan menggunakan kontras untuk melihat kelenjar limfe dan pembuluh limfe yang merupakan bagian dari sistem limfatik dengan tujuan untuk menegakkan diagnostik, mengevaluasi penyebaran kanker dan efektifitas terapi kanker. Indikasi dilakukan Limfanglografi yaitu untuk mengetahui keefektifan dari terapi kanker, mengevaluasi penyebab pembegkakan pada lengan atau kaki, mencari penyakit yang disebabkan oleh parasit dan membedakan antara limfoma Hodgkin atau non Hodgkin.BAB IIIPENUTUPA.   KesimpulanPengkajian fisik adalah keterampilan paling esensial yang memerlukan banyak latihan dalam melakukannya. Tujuan melakukan pengkajian fisik adalah  untuk mengembangkan pemahaman tentang masalah medis pasien dan membuat diagnosis banding.Pengkajian pada klien dengan gangguan hematologi perlu dilakukan dengan teliti, sistematis, serta memahami dengan baik fisiologis dari setiap organ system hematologi.Metode yang digunakan dalam pengumpulan data keperawatan pada tahap pengkajian adalah wawancara (interview), pengamatan (observasi), dan pemeriksaan fisik(pshysical assessment). dan studi dokumentasi.Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Padapemeriksaan fisik seorang anak dilakukan secara terstruktur dan sistematik, sedangkan pengkajian pasien geriatric cukup kompleks dan memakan waktu,tergantung pada tingkat keragaman, tingkat kronis dan kompleksitas masalah fisik yang mendasari.Pendekatan pengkajian fisikdapat menggunakanHeadto toe (kepala ke kaki), ROS (Review of System / sistem tubuh), pola fungsi kesehatan Gordon, 1982, dan Doengoes (1993)B.    SaranKita sebagai seorang perawat harus mempelajari pengkajian fisik dengan benar, karena dengan pengakajian fisik yang benar dan tepat akanmemungkinkan perawat untuk mebuat penilaian klinis. Keakuratan pengkajian fisik yang kita lakukan akan mempengaruhi pemilihan terapi yang diterima klien dan penetuan respon  terhadap terapi. DAFTAR PUSTAKAMary Meyers-Marquardt.1997.Pengkajian KeperawatanKritis.Jakarta:EGCHudak dan Galo. 1996. Keperawatan Kritis: Volume II. Jakarta: EGC.Jonathan Gleadle.2005.At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Erlangga.Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik FKUI. 1973. Patologi. Jakarta: FKUI.Wiwik handayani&Andi sulistyo haribowo, 2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medikahttp://id.wikipedia.org/wiki/ELISAhttp://www.scribd.com/doc/131196084/limfangiografi-komplit-dochttp://www.amazine.co/26484/apa-itu-biopsi-sumsum-tulang-prosedur-resiko-biayanya/