Zogie Ari Effendi | Kumpulan Materi Perkuliahan Keperawatan

Zogie Ari Effendi | Kumpulan Materi Perkuliahan Keperawatan
Stikes ICME Jombang

Tuesday 14 October 2014

Makalah Konsep Diagnostik

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Status kesehatan yang optimal merupakan syarat untuk menjalankan tugas dalam pembangunan.  Menurut paradigma sehat, diharapkan orang tetap sehat dan lebih sehat, sedangkan yang berpenyakit lekas dapat di sembuhkan agar sehat. Untuk segera dapat disembuhakn, perlu di tentukan penyakitnya dan pengobatan yang tepat, serta prognosis atau ramalan yaitu ringan, berat, atau fatal. Idealnya pemeriksaan laboratorium harus teliti, tepat, sensitif, spesifik cepat dan tidak mahal. Namun karena keterbatasan pengetahuan, teknologi dan biaya, keadaan ideal tidak selalu terpenuhi. Akurat atau tapat berati kemampuan untuk mendapatkan nilai benar yang di inginkan, tatapi untuk mencapai mungkin membutuhkan waktu yang lama dan mahal. Cepat berati tidak memerlukan waktu lama. Spesifik berarti kemampuan mendeteksi substansi yang ada pada penyakit yang diperiksa dan tidak menentukan substansi yang lain. Ketepatan pemanfaatan tes laboratorium untuk mendapatkan diagnosis akurat dan cepat akan menghemat pembiayaan.
Rumusan Masalah
Apa yang anda ketahui tentang Diagnostic ?
Apa factor-faktor yang berhubungan dengan Diagnostic ?
Apa macam-macam penyakit yang berhubungan dengan Diagnostic ?
Tujuan
Mengetahui tentang Diagnostic
Mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan Diagnostic
Mengetahui macam-macam penyakit yang berhubungan dengan Diagnostic


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diagnostic
Dalam menentukan penyakit atau diagnosis, membantu diagnosis, prognosis, mengendalikan penyakit dan memonitor pengobatan atau memantau jalanya penyakit, dokter melakukan pemeriksaan laboratorium atau tes laboratorium yaitu pemeriksaan spesimen atau sampul yang diambil dari pasien. Banyak pemeriksaan spesimen dilakukan di laboratorium klinik atau lengkapnya di laboratorium patologi klinik.
Pemeriksaan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan atau sampel dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), dan sebagainya untuk menentukan diagnosis atau membantu menentukan diagnosis penyakit bersama dengan tes penunjang lainya, anamnesis, dan pemeriksaan lainya.
Sekumpulan pemeriksaan laboratorium yang dirancang, untuk tujuan tetrtentu misalnya untuk mendeteksi penyakit, menentukan resiko, memantau perkembangan penyakit, memantau perkembangan pengobatan, dan lalin-lain. Mengetahui ada tidaknya kelainan atau penyakit yang banyak di jumpai dan potensial membahayakan.  Pemeriksaan yang juga merupakan proses General medical check up (GMC) meliputi : Hematologi Rutin, Urine Rutin, Faeces Rutin, Bilirubin Total, Bilirubin Direk, GOT, GPT, Fotafase Alkali, Gamma GT, Protein Elektroforesis, Glukosa Puasa, Urea N, Kreatinin, Asam Urat, Cholesterol Total, Trigliserida, Cholesterol HDL, Cholesterol LDL-Direk.
Tes atau pemeriksaan dapat secara kimia klinik, hematologi, imunologi, serologi, mikrobiologi klinik, dan parasitologi klinik.  Metode pemeriksaan pemeriksaan terus berkembang dari kualitatif, semi kuantitatif, dan dilaksanakan dengan cara manual, semiotomatik, otomatik, sampai robotik. Hal ini berarti peralatanpun berkembang dari yang sederhana sampai yang canggih dan mahal hingga biaya tespun dapat meningkat.  Oleh karena itu hasi suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan penyakit, serta menentukan prognosa dari suatu penyakit atau keluhan pasien.
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk berbagai tujuan :
Skrining/uji saring adanya penyakit subklinis
Konfirmasi pasti diagnosis
Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala klinis
Membantu pemantauan pengobatan

Menyediakan informasi prognostic atau perjalan penyakit
Memantau perkembangan penyakit
Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensial      membahayakan
Memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak didapati  penyakit
2.2 Faktor yang mempengaruhi test Diagnostic
Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi test diagnostic yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu :
Pra instrumentasi
Pada tahap ini sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas, pasien dan dokter. Hal ini karena tanpa kerja sama yang baik akan mengganggu/mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Yang termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi :
Pemahaman instruksi dan pengisian formulir
Pada tahap ini perlu diperhatikan benar apa yang diperintahkan oleh dokter dan dipindahkan ke dalam formulir. Hal ini penting untuk menghindari pengulangan pemeriksaan yang tidak penting, membantu persiapan pasien sehingga tidak merugikan pasien dan menyakiti pasien. Pengisian formulir dilakukan secara lengkap meliputi identitas pasien : nama, alamat/ruangan, umur, jenis kelamin, data klinis/diagnosa, dokter pengirim, tanggal dan kalau diperlukan pengobatan yang sedang diberikan. Hal ini penting untuk menghindari tertukarnya hasil ataupun dapat membantu intepretasi hasil terutama pada pasien yang mendapat pengobatan khusus dan jangka panjang.
Persiapan penderita
Puasa
Dua jam setelah makan sebanyak kira2 800 kalori akan mengakibatkan peningkatan volume plasma, sebaliknya setelah berolahraga volume plasma akan berkurang. Perubahan volume plasma akan mengakibatkan perubahan susunan kandungan bahan dalam plasma dan jumlah sel darah.
Obat
Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
Waktu pengambilan
Umumnya bahan pemeriksaan laboratorium diambil pada pagi hari tertutama pada pasien rawat inap. Kadar beberapa zat terlarut dalam urin akan menjadi lebih pekat pada pagi hari sehingga lebih mudah diperiksa bila kadarnya rendah. Kecuali ada instruksi dan indikasi khusus atas perintah dokter. Selain itu juga ada pemeriksaan yang tidak melihat waktu berhubung dengan tingkat kegawatan pasien dan memerlukan penanganan segera disebut pemeriksaan sito. Beberapa parameter hematologi seperti jumlah eosinofil dan kadar besi serum menunjukkan variasi diurnal, hasil yang dapat dipengaruhi oleh waktu pengambilan. Kadar besi serum lebih tinggi pada pagi hari dan lebih rendah pada sore hari dengan selisih 40-100 ug/dl. Jumlah eosinofil akan lebih tinggi antara jam 10 pagi sampai malam hari dan lebih rendah dari tengah malam sampai pagi.
Posisi pengambilan
Posisi berbaring kemudian berdiri mengurangi volume plasma 10% demikian pula sebaliknya. Hal lain yang penting pada persiapan penderita adalah menenangkan dan memberitahu apa yang akan dikerjakan sebagai sopan santun atau etika sehingga membuat penderita atau keluarganya tidak merasa asing atau menjadi obyek. a) Persiapan alat
Dalam mempersiapkan alat yang akan digunakan selalu diperhatikan instruksi dokter sehingga tidak salah persiapan dan berkesan profesional dalam bekerja.
b) Pengambilan darah
Yang harus dipersiapkan antara lain : - kapas alkohol 70 %, karet pembendung (torniket) semprit sekali pakai umumnya 2.5 ml atau 5 ml, penampung kering bertutup dan berlabel. Penampung dapat tanpa anti koagulan atau mengandung anti koagulan tergantung pemeriksaan yang diminta oleh dokter. Kadang-kadang diperlukan pula tabung kapiler polos atau mengandung antikoagulan.
c) Penampungan urin
Digunakan botol penampung urin yang bermulut lebar, berlabel, kering, bersih, bertutup rapat dapat steril (untuk biakan) atau tidak steril. Untuk urin kumpulan dipakai botol besar kira-kira 2 liter dengan memakai pengawet urin.
d) Penampung khusus
Biasanya diperlukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau pemeriksaan khusus yang lain. Yang penting diingat adalah label harus ditulis lengkap identitas penderita seperti pada formulir termasuk jenis pemeriksaan sehingga tidak tertukar.
Cara pengambilan sampel
Pada tahap ini perhatikan ulang apa yang harus dikerjakan, lakukan pendekatan dengan pasien atau keluarganya sebagai etika dan sopan santun, beritahukan apa yang akan dikerjakan. Selalu tanyakan identitas pasien sebelum bekerja sehingga tidak tertukar pasien yang akan diambil bahan dengan pasien lain. Karena kepanikan pasien akan mempersulit pengambilan darah karena vena akan konstriksi. Darah dapat diambil dari vena, arteri atau kapiler. Syarat mutlak lokasi pengambilan darah adalah tidak ada kelainan kulit di daerah tersebut, tidak pucat dan tidak sianosis. Lokasi pengambilan darah vena : umumnya di daerah fossa cubiti yaitu vena cubiti atau di daerah dekat pergelangan tangan. Selain itu salah satu yang harus diperhatikan adalah vena yang dipilih tidak di daerah infus yang terpasang/sepihak harus kontra lateral. Darah arteri dilakukan di daerah lipat paha (arteri femoralis) atau daerah pergelangan tangan (arteri radialis). Untuk kapiler umumnya diambil pada ujung jari tangan yaitu telunjuk, jari tengah atau jari manis dan anak daun telinga. Khusus pada bayi dapat diambil pada ibu jari kaki atau sisi lateral tumit kaki.
Penanganan awal sampel dan transportasi
Pada tahap ini sangat penting diperhatikan karena sering terjadi sumber kesalahan ada disini. Yang harus dilakukan :
Catat dalam buku expedisi dan cocokan sampel dengan label dan formulir. Kalau sistemnya memungkinkan dapat dilihat apakah sudah terhitung biayanya (lunas)
Jangan lupa melakukan homogenisasi pada bahan yang mengandung antikoagulan
Segera tutup penampung yang ada sehingga tidak tumpah
Segera dikirim ke laboratorium karena tidak baik melakukan penundaan
Perhatikan persyaratan khusus untuk bahan tertentu seperti darah arteri untuk analisa gas darah, harus menggunakan suhu 4-8° C dalam air es bukan es batu sehingga tidak terjadi hemolisis. Harus segera sampai ke laboratorium dalam waktu sekitar 15-30 menit. Perubahan akibat tertundanya pengiriman sampel sangat mempengaruhi hasil laboratorium. Sebagai contoh penundaan pengiriman darah akan mengakibatkan penurunan kadar glukosa, peningkatan kadar kalium. Hal ini dapat mengakibatkan salah pengobatan pasien. Pada urin yang ditunda akan terjadi pembusukan akibat bakteri yang berkembang biak serta penguapan bahan terlarut misalnya keton. Selain itu nilai pemeriksaan hematologi juga berubah sesuai dengan waktu.
Pemeriksaan Rontgen
Teknologi rontgen sudah digunakan lebih dari satu abad yang lalu. Tepatnya sejak 8 November 1890 ketika fisikawan terkemuka berkebangsaan Jerman, Conrad Roentgen, menemukan sinar yang tidak dikenalinya, yang kemudian diberi label sinar X. Sinar ini mampu menembus bagian tubuh manusia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian-bagian dalam tubuh. Berkat jasanya bagi dunia kedokteran, banyak nyawa bisa diselamatkan, hingga ia mendapat penghargaan Nobel di tahun 1901. Pada prinsipnya sinar yang menembus tubuh ini perlu dipindahkan ke format film agar bisa dilihat hasilnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini foto rontgen juga sudah bisa diproses secara digital tanpa film. Sementara hasilnya bisa disimpan dalam bentuk CD atau bahkan dikirim ke berbagai belahan dunia menggunakan teknologi e-mail.
Persiapan pemeriksaan
Radiografi konvensional tanpa persiapan. Maksudnya, saat anak datang bisa langsung difoto. Biasanya ini untuk pemeriksaan tulang atau toraks.
Radiografi konvensional dengan persiapan.
Pemeriksaan radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di antaranya untuk foto rontgen perut. Sebelum pelaksanaan, anak diminta untuk puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap. Dengan begitu ususnya bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas memperlihatkan kelainan yang dideritanya.
Pemeriksaan dengan kontras
Sebelum dirontgen, kontras dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum, atau dimasukkan lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena.
Indikasi pemeriksaan
Sesak napas pada bayi.
Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di toraksnya (rongga dada), dokter membutuhkan foto rontgen agar penanganannya tepat.
Bayi muntah hijau terus-menerus.
Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran cerna, maka pengambilan foto rontgen pun akan dilakukan. Pertimbangan dokter untuk melakukan tindakan ini tidak semata-mata berdasarkan usia, melainkan lebih pada risk and benefit alias risiko dan manfaatnya.
Deteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.  Bagi balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk mendeteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.

Kardiotokografi (CTG)
Secara khusus CTG adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada saat kontraksi maupun tidak. Secara umum CTG merupakan suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, Dengan merekam pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim. adi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG kontraksi ibu juga terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik.  Cara pengukuran CTG hampir sama dengan doppler hanya pada CTG yang ditempelkan 2 alat yang satu untuk mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi, alat ini ditempelkan selama kurang lebih 10-15 menit.
Indikasi Pemeriksaan CTG
Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit infeksi kronis, dll)
Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)
Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
Polihidramnion (air ketuban berlebih)
Pemeriksaan CTG
Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi.
Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang sesuai.
Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

2.2 Macam-macam penyakit
Kardovaskuler (EKG)
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari perubahan – perubahan potensial atau perubahan voltage yang terdapat dalam jantung.
Elekrokardiogram adalah grafik yang merekam perubahan potensial listrik jantung yang dihubungkan dengan waktu.
Dalam EKG perlu diketahui tentang sistem konduksi, yang terdiri dari:
SA node (Sino-Atriale Node)
Terletak di batas atrium kanan (RA) dan vena cava superior (VCS). Sel-sel dalam SA node ini secara otomotis dan teratur mengeluarkan impuls (rangsangan listrik) dengan frekuensi 60-100 kali permenit. Kemudian menjalar ke atrium sehingga menyebabkan seluruh atrium terangsang. Iramanya adalah irama sinus (sinus rhythm)
Tractus intermodal
AV node (Atrio-ventricular node)
Terletak di septum internodal bagian sebelah kanan, diatas katup trikuspid. Sel-sel AV node mengeluarkan impuls dengan frekuensi 40-60 kali permenit.
Berkas HIS
Terletak di dalam interventrikular dan bercabang dua, yaitu cabang berkas kiri dan kanan, setelah melewati cabang-cabang itu akan bercabang lagi yang disebut serabut purkinje.
Serabut Purkinje
Akan mengadakan kontak dengan sel-sel  ventrikel. Dari sel-sel ventrikel, impuls dialirkan ke sel-sel yang terdekat sehingga seluruh sel akan terangsang.

Hal-hal penting mengenai Elektrokardiograf antara lain:
EKG adalah suatu rekaman   mengenai sebagian aktivitas listrik di cairan-cairan tubuh yang diinduksi oleh impuls jantung yang mencapai permukaan tubuh, bukan rekaman aktivitas listrik jantung yang sebenarnya.
EKG adalah rekaman kompleks yang menggambarkan penyebaran keseluruhan aktivitas di juantung selama repolarisasi dan depolarisasi.
Rekaman mencerminkan perbandingan voltase yang terdeteksi oleh elektroda di dua titik yang berbeda di tubuh.
Tujuan EKG bagi Klien dalam Asuhan Keperawatan
Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan dari irama jantung (aritmia)
Irama mengacu kepada keteraturan gelombang EKG. Setiap variasi irama normal dan urutan eksitasi jantung disebut aritmia. Artitmia dapat terjadi akibat adanya  fokus ektopik, perubahan aktivitas pemacu nodus SA atau gangguan hantaran.
Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan myocardium seperti infarct, hipertropi atrial atau ventrikel.
Untuk mengetahui pengaruh atau efek obat-obat jantung terutama digitalis dan quinidine
Untuk mengetahui adanya gangguan-gangguan elektrolit
Untuk mengetahui adanya perikarditis

Sandapan
Apabila elektrode dari sebuah alat elektrokardiograsi dipasang pada tempat-tempat tertentu pada tubuh, maka terjadi sebuah sandapan (lead).
Sandapan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
Sandapan Bipolar (Sandapan standar ditandai dengan tanda I, II, III)
Sandapan I: elektrode yang positif dihubungkan dengan tangan kiri (LA)dan elektrode negatif dengan lengan kiri (RA)
Sandapan II : elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan yang negatif dihubungkan dengan tangan kanan atas (RA)
Sandapan III : elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan negatif dihubungkan dengan tangan kiri.
Sandapan unipolar ekstermitas
Augmented Extremity lead avR, avL, avF
Sandapan unipolar prekordial
Disebut juga sandapan unipolar dada, ini ditandai dengan huruf V (voltage) dan disertai angka di belakangnya yang menunjukan lokasi di atas prekordium. Posisi electrode eksplorasi yang dianjurkan oleh Aamerican Heart Association (AHA) adalah:
V1: Sela iga 4 pada garis sternalis dekstra
V2: sela iga 4 pada garis sternalis sinistra
V3: terletak antara v2 dan v4
V4: sela iga 5 pada garis midclavikula sinistra
V5: garis axila anterior sejajar dengan v4
V6: garis axila tengah sejajar v4

Respirasi
Prosedur diagnostic yang digunakan untuk mendeteksi gangguan pada system pernapasan dibagi ke dalam 2 metode, yaitu:
MetodeMorfoligi
Teknik radiologi
Toraks merupakan tempat yang ideal untuk pemeriksaan radiologi. Parenkim paru yang berisi udara memberikan resistensi yang kecil terhadap jalannya sinar X, karena itu parenkim menghasilkan bayangan yang sangat bersinar-sinar. Jaringan lunak dinding dada, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar serta diafragma lebih sukar ditembus sinar X dibandingkan parenkim paru sehingga bagian ini akan tampak lebih padat pada radiogram. Struktur toraks yang bertulang (termasuk iga, sternum dan vertebra) lebih sulit lagi ditembus, sehingga bayangannya lebih padat lagi. Metode radiografi yang biasa digunakan untuk menentukan penyakit paru adalah:
Radiografi Dada Rutin
Dilakukan pada suatu jarak standar setelah inspirasi maksimum dan menahan napas untuk menstabilkan diafragma. Radiograf diambil dengan sudut pandang posteroanterior dan kadang juga diambil dari sudut pandang lateral dan melintang. Radiograf yang dihasilkan memberikan informasi sebagai berikut:
Status rangka toraks termasuk iga, pleura dan kontur diafragma dan saluran napas atas pada waktu memasuki dada
Ukuran, kontur dan posisi mediastinum dan hilus paru, termasuk jantung, aorta, kelenjar limfe dan percabangan bronkus
Tekstur dan derajat aerasi parenkim paru
Ukuran, bentuk, jumlah dan lokasi lesi paru termasuk kavitasi, tanda fibrosis dan daerah konsolidasi.
Penampilan radiografi dada yang normal bervariasi dalam beberapa hal bergantung pada:
Jenis kelamin
Usia Keadaan pernapasan
Tomografi computer (CT Scan)
Yaitu suatu teknik gambaran dari suatu “irisan paru” yang diambil sedemikian rupa sehingga dapat diberikan gambaran yang cukup rinci. CT scan dipadukan dengan radiograf dada rutin. CT scan berperan penting dalam:
Mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama brronkus
Menentukan lesi pada pleura atau mediastinum (nodus, tumor, struktur vaskular)
Dapat mengungkapkan sifat serta derajat kelaianan bayangan yang terdapat pada paru dan jaringan toraks lain CT scan bersifat tidak infasif sehingga CT scan mediastinum sering digunakan untuk menilai ukuran nodus limfe mediastinum dan stadium kanker paru, walaupun tidak seakurat bila menggunakan mediastisnokopi.
Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
MRI menggunakan resonansi magnetic sebagai sumber energy untuk mengambil gambaran potongan melintang tuubuh. Gambaran yang dihasilkan dalam berbagai bidang, dapat membedakan jaringan yang normal dan jaringan yang terkena penyakit (pada CT scan tidak dapat dibedakan), dapat membedakan antara pembuluh darah dengan struktur nonvascular, walaupun tanpa zat kontras. Namun, MRI lebih mahal dibandingkan CT scan. MRI khususnya digunakan dalam mengevaluasi penyakit pada hilus dan mediastinum.
Ultrasounds Tidak dapat mengidentifikasi penyakit parenkim paru. Namun, ultrasound dapat membantu mendeteksi cairan pleura yang akan timbul dan sering digunakan dalam menuntun penusukan jarum untuk mengambil cairan pleura pada torakosentesis.
Angiografi Pembuluh Paru
Memasukkan cairan radoopak melalui kateter yang dimasukkan lewat vena lengan ke dalam atrium kanan, ventrikel kanan lalu ke dalam arteri pulmonalis utama. Teknik ini digunakan untuk menentukan lokasi emboli massif atau untuk menentukan derajat infark paru. Resiko utama dalam angiografi yaitu timbulnya aritmia jantung saat kateter dimasukkan ke dalam bilik jantung.
Pemindaian Paru
Pemindaian paru dengan menggunakan isotop, walaupun merupakan metode yang kurang dapat diandalkan untuk mendeteksi emboli paru, tetapi prosedur ini lebih aman dibandingkan dengan angiografi.
Bronkoskopi Merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi langsung trakea dan cabang-cabang utamanya. Cara ini paling sering digunakan untuk memastikan diagnosis karsinoma bronkogenik, tetapi dapat juga digunakan untuk mengangkat benda asing.
Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan Sputum

Metode Fisiologi
Uji Fungsi Paru
Uji Fungsi Ventilasi
Analisa Gas Darah

Hormonal Reduksi (urin)

Organ Reproduksi (HCG)

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
SARAN

Askep Ablasio Retina

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen  retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002).
Lepasnya retina dapat menyerang satu dari 10.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Kejadian ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih tua. Kejadian ini lebih besar kemungkinannya terjadi pada orang yang menderita rabun jauh (miopia) atau berkacamata minus dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang pernah mengalami lepas retina. Lepasnya retina dapat pula terjadi akibat pukulan yang keras. Selain itu, walaupun agak jarang, kondisi ini dapat merupakan penyakit keturunan yang bahkan dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Bila tidak segera dilakukan tindakan, lepasnya retina akan mengakibatkan cacat penglihatan atau kebutaan.

Rumusan Masalah
Apa pengertian ablasio Retina?
Apa etiologi ablasio Retina?
Apa manifestasi ablasio Retina?
Bagaimana patofisiologi Retina?
Bagaimana pemeriksaan penunjang ablasio Retina?
Bagaimana penatalaksanaan ablasio Retina?
Bagaimana askep ablasio Retina?

 Tujuan
Untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala dari Ablasio retina.
Untuk mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit Ablasio retina.
Untuk menambah pemahaman tentang asuhan keperawatan pada penyakit Ablasio retina.
Manfaat
Agar dapat mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada dari Ablasio retina.
Agar dapat mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit Ablasio retina.
Agar dapat menambah pemahaman tentang asuhan keperawatan pada penyakit ablasio retina.
 


























BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Ablasio retina atau retinal detachment adalah lepasnya bagian lapisan sensori retina dari lapisan epitel pigmen, koroid (deWit, 1998). Ablasio retina dapat menimbulkan ruang subretina dan cairan vitreus  merembes di bawah retina, memisahkan daeah tersebut dari dinding vaskular dan akhirnya menurunkan suplai darah kedalamnya. Insiden kasus ini meningkat secara dramatis setelah usia 40 tahun dan mencapai uncaknya pada dekade ke-5 dan ke-6.

Etiologi
Lepasnya retina dapat menyerang satu dari 10.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Kejadian ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih tua. Kejadian ini lebih besar kemungkinannya terjadi pada orang yang menderita rabun jauh (miopia) atau berkacamata minus dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang pernah mengalami lepas retina. Lepasnya retina dapat pula terjadi akibat pukulan yang keras. Selain itu, walaupun agak jarang, kondisi ini dapat merupakan penyakit keturunan yang bahkan dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Bila tidak segera dilakukan tindakan, lepasnya retina akan mengakibatkan cacat penglihatan atau kebutaan. Penyebab lain ablasio retina seperti trauma mata, abalisio retina pada mata yang lain, pernah mengalami operasi mata, ada daerah retina yang tipis/lemah yang dilihat oleh dokter mata, robekan retina, komplikasi, diabetus melitus paradangan, pada usia lanjut (perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina), malformasi kongenital, kelainan metabolisme, penyakit vaskuler, dan inflanmasi intraokuler neoplasma.

Manifestasi Klinis
Gejala pertama penderita ini melihat kilatan - kilatan bintik hitam mengapung dan cahaya. Pada beberapa penderita lepasnya retina mungkin terjadi tanpa didahului oleh terlihatnya bintik bintik hitam (floaters) ataupun kilatan cahaya yang nyata. Dalam hal ini penderita mungkin menyadari penglihatannya seolah - olah pinggir. Perkembangan lepasnya retina yang lebih lanjut akan mengaburkan penglihatan sentral dan menimbulkan kemunduran penglihatan. Penglihatan seperti ada lapisan hitam yang menutupi sebagian atau seluruh pandangan seperti terhalang tirai/bergelombang.
Patofisiologi
Retina terdiri atas dua lapisan. Robekan atau pelepasan retina terjadi jika kedua lapisan tersebut terpisah karena akumulasi cairan atau tarikan kontraksi badan vitreus. Tarikan vitreus pada retina menyebabkan klien melihat sinar kilat. Klien juga mengeluhkan melihat titik-titik hitam di depan mata, yang terjadi karena lepasnya sel-sel retina dan putusnya kapiler yang mengalirkan sel darah merah ke dalam vitreus. Sel darah merah ini menghasilkan bayangan pada retina yang diterima sebagai titik-titik hitam tersebut. Lepasnya retina juga menyebabkan gangguan penerimaan rangsagan visual yang mengakibatkan konversi rangsangan kebentuk yang tidak dapat diintrepretasikan otak dan dan menyebabkan klien mengalami penurunan atau hilangnya pandangan. Hilangnya lapang oandang bergantung pada area lepasnya retina. Jika bagian yang lepas bagian superior mata, maka penglihatan yang hilang bagian inferior.  Retina temporal lebih sering terkena  sehingga klien mengeluh gangguan pada area nasaldaripada pandangan. Gangguan penglihatan sentral terjadi jika makula lutea terkena.


















Miopia         Trauma       Afakia      Prosesus peradangan      Penyakit sistemik       Tumor okuler        Degenerasi
                                                                                     
                        Sel darah merah dan sel retina lepas                    Bayangan bintik-bintik hitam

Gangguan penerimaan rangsangan visual

Konversi rangsangan yang tidak dapat diinterpretasikan otak               Hilangnya penglihatan
Perlu pembatasan aktivitas

Perlu operasi

Post op


Bagan. Patofisiologi abasio retina dalam kaitanyya dengan masalah keperawatan.
Pemeriksaan Penunjang
Karena itu bila ada keluhan seperti di atas, pasien harus segera memeriksakan diri ke dokter spesialis mata. Dokter akan memeriksa dengan teliti retina dan bagian dalam dengan alat yang disebut oftalmoskop. Dengan cahaya yang terang dan pembesaran dari alat tersebut, dokter dapat menentukan lokasi daerah retina robek atau daerah yang lemah yang perlu diperbaiki dalam pengobatan. Alat-alat diagnostik khuhsus lainnya yang mungkin perlu digunakan adalah lensa-lensa khusus, mikroskop, dan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Terapi bila retina robek tetapi belum lepas, maka lepasnya retina itu dapat dicegah dengan tindakan segera.

Penatalaksanaan
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang ditemukan terjadi robekan retina maka harus dilakukan pembedahan. Ada beberapa prosedur bedah yang dapat digunakan. Prosedur yang dipilih tergantung pada beratnya lepas retina dan pertimbangan dokter. Fotokoagulasi Laser Bila ditemukan robekan-robekan kecil di retina dengan sedikit atau tanpa lepasnya retina, maka robekan ini dapat direkatkan lagi dengan sinar laser. Laser akan menempatkan luka bakar-luka bakar kecil di sekeliling pinggir robekan. Luka bakar ini akan menimbulkan jaringan parut yang mengikat pinggiran robekan dan mencegah cairan lewat dan berkumpul di bawah retina. Bedah laser oftalmologi sekarang biasanya dilakukan sebagai tindakan pada pasien berobat jalan dan tidak memerlukan sayatan bedah. Pembekuan (Kriopeksi) Membekukan dinding bagian belakang mata yang terletak di belakang robekan retina, dapat merangsang pembentukan jaringan parut dan merekatkan pinggir robekan retina dengan dinding belakang bola mata. Pembekuan biasanya dilakukan dengan prosedur pasien berobat jalan tetapi memerlukan pembiusan setempat pada mata.
Tindakan bedah bila cukup banyak cairan telah terkumpul di bawah retina dan memisahkan retina dengan mata bagian belakang, maka diperlukan operasi yang lebih rumit untuk mengobati lepas retina itu. Teknik operasinya bermacam-macam, tergantung pada luasnya lapisan retina yang lepas dan kerusakan yang terjadi, tetapi semuanya dirancang untuk menekan dinding mata ke lubang retina, menahan agar kedua jaringan itu tetap menempel sampai jaringan parut melekatkan bagian robekan. Kadang-kadang cairan harus dikeluarkan dari bawah retina untuk memungkinkan retina menempel kembali ke dinding belakang mata. Seringkali sebuah pita silikon atau bantalan penekan diletakkan di luar mata untuk dengan lembut menekan dinding belakang mata ke retina. Dalam operasi ini dilakukan pula tindakan untuk menciptakan jaringan parut yang akan merekatkan robekan retina, misalnya dengan pembekuan, dengan laser atau dengan panas diatermi (aliran listrik dimasukkan dengan sebuah jarum).
Jenis pembedahan ablasio retina:
Pneumoretinopeksi: operasi singkat untuk melekatkan kembali retina yang lepas (ablasio retina).
Scleral Buckling: Operasi untuk melekatkan kembali retina yang lepas.
Vitrektomi: Operasi ini memerlukan alat khusus, ahli bedah akan melakukan operasi didalam rongga bola mata untuk membersihkan vitreus yang keruh, melekatkan kembali vitreus yang mengalami ablasio, mengupas jaringan ikat dari permukaan retina, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan
Untuk memperbaiki Ablatio Retina dilakukan prosedur operasi scleral bucking yaitu pengikatan kembali retina yang lepas.

a. Pengelolaan penderita sebelum operasi
Mengatasi kecemasan
Membatasi aktivitas
Penutup mata harus selalu dipakai untuk mencegah atau membatasi pergerakan bola mata
Pengobatan dengan obat tetes mata jenis midriaticum untuk mencegah akomodasi dan kontriksi.

b. Pengelolaan penderita setelah operasi
Istirahatkan pasien (bad rest total) minimal dalam 24 jam pertama.
Ukur vital sign tiap jam dalam 24 jam pertama.
Evaluasi penutup mata
Bantu semua kebutuhan ADL
Perawatan dan pengobatan sesuai program

  Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi vitreoretinal:
Infeksi
Perdarahan
Ablasio retina kembali, sebagai komplikasi operasi
Penglihatan yang menurun
Peningkatan tekanan bola mata
Glaukoma
Katarak akan timbulnya lebih awal pada lebih dari 50% pasien yang telah menjalani operasi vitrektomi. Selanjutnya, pasien ini akan menjalani operasi katarak beberapa tahun kemudian.
Komplikasi akibat pembiusan dapat saja terjadi. Pembiusan lokal kadang-kadang menimbulkan perdarahan di sekeliling mata tapi jarang berakibat langsung pada mata. Pembiusan umum berpotensi menghadapi resiko serius. Bila anda akan mendapatkan pembiusan umum, anda akan ditangani oleh spesialis anestesiologi sebelum operasi.





















BAB III
KONSEP DASAR ASKEP ABLASIO RETINA
  3.1 Pengkajian
Identitas pasien
Meliputi nama, umur untuk mengetahui angka kejadian pada usia keberapa, jenis kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan, pekerjaan untuk mengetahui apakah penderita sering menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak.
Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada penglihatan seperti penglihatan kabur, melihat kilatan–kilatan kecil, adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan, adanya penurunan tajam penglihatan.
Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien yang berhubungan dengan timbulnya ablasio retina yaitu adanya miopi tinggi, retinopati, trauma pada mata.
Riwayat penyakit keluarga
Adakah anggota keluarga lain yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien dan miopi tinggi.
Riwayat psikososial dan spiritual
Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitar sebelum maupun sesudah sakit. Apakah pasien mengalami kecemasan, rasa takut, kegelisahan karena penyakit yang dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Pola-pola fungsi kesehatan
Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai berikut :
Pola persepsi dan tata laksana hidup
Bagaimana persepsi pasien tentang hidup sehat, dan apakah dalam melaksanakan talaksana hidup sehat penderita membutuhkan bantuan orang lain atau tidak.
Pola tidur dan istirahat
Dikaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur dan gangguan selama tidur sebelum pelaksanaan operasi dan setelah palaksanaan operasi. Juga dikaji bagaimana pola tidur dan istirahat selama masuk rumah sakit.
Pola aktifitas dan latihan
Apa saja kegiatan sehari-hari pasien sebelum masuk rumah sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.
Pola hubungan dan peran
Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya. Apakah peranan pasien dalam keluarga dan masyarakat. Juga ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain dirumah sakit,sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.
Pola persepsi dan konsep diri
Bagaimana body image, harga diri, ideal diri, dan identitas diri pasien. Apakah ada perasaan negatif terhadap dirinya. Juga bagaimana pasien menyikapi kondisinya setelah palaksanaan operasi.
Pola sensori dan kognitif
Bagaimana daya penginderaan pasien. Bagaimana cara berpikir dan jalan pikiran pasien.
Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien memecahkan masalah yang dihadapi dan stressor yang paling sering muncul pada pasien.

Pemeriksaan Fisik
Status kesehatan umum
Bagaimana keadaan penyakit dan tanda-tanda vitalnya.
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen, yaitu :
Pemeriksaan segmen anterior :
Adanya pembengkakan pada palpebrae atau tidak, biasanya pada klien post operasi ablasio retina, palpebraenya akan bengkak.
Keadaan lensa, bila tidak ada konplikasi lain, maka keadaan lensanya adalah jernih.
Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang telah masuk rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian atropin.
Kamera Okuli Anteriornya biasanya dalam.
Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi akan mengalami hiperemi pada konjungtivanya.
Pemeriksaan segmen posterior
Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.
Ada atau tidak pupil syaraf optiknya.
Pemeriksaan diagnostik
Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau tidak dan untuk mengetahui sisa penglihatan yang masih ada. Pengujian ini dengan menggunakan kartu snelen yang dibuat sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat optik mata membentuk sudut 500 untuk jarak tertentu. Pada ablasio retina didapatkan penurunan tajam penglihatan.
Fundus kopi, untuk mengetahui bola mata seperti warna retina, keadaan retina, reflek dan gambaran koroid.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina.
Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri berhubungan dengan bed rest total.
Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
Potensial terjadi kecelakaan berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.

3.3 Intervensi Keperawatan dan Implementasi
Diagnosa 1 : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
Devinisi : Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang di gambarkan dalam istilah seperti kerusakan (internasional assosiation for the study of pain), awitan yang tiba tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat di ramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.
Tujuan/Kriteria Evaluasi
Pasien akan :
Mengatakan secara verbal pengetahuan tentang cara alternatif untuk mengurangi nyeri.
Tingkat nyeri pasien dipertahankan pada atau kurang (pada skala 0-10).
Malaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
Mengenali faktor-faktor yang meningkatkan dan melakukan tindakan pencegahan nyeri.
Menggunakan alat pengurang nyeri analgesik dan nonanalgesik secara tepat.
Hasil yang Disarankan NOC
Tingkat Kenyamanan : Perasaan senang secara fisik dan psikologis.
Perilaku pengendalian Nyeri : Tindakan seseorang untuk mengendalikan nyeri.
Nyeri : Efek Merusak : Efek merusak dari nyeri terhadap emosi dan perilaku yang diamati atau dilaporkan.
Tingkat Nyeri : jumlah nyeri yang dilaporkan atau ditunjukkan.
Intervensi Prioritas NIC :
Pemberian Analgesik: penggunaan agen-agens farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Penatalaksanaan Nyeri: meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.
Bantuan Analgesia yang Dikendalikan Oleh Pasien: memudahkan pengendalian pasien dalam pemberian dan pengeturan anlgesik.
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
Kaji dan dokumentasikan efek-efek penggunaan pengobatan jangka panjang.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC) :
Pantau kepuasan pasien dengan penatalaksanaan nyeri pada interval yang spesifik.
Tentukan dampak pengalaman nyeri pada kualitas hidup (misalkan : tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja, dan tanggung jawab peran).
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga
Bicarakan pada pasien bahwa pengurangan nyeri secara total tidak akan dapat dicapai.
Aktivitas Kolaboratif
Adakan pertemuan perencanaan asuhan keperawatan pasien secara multidisiplin.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC):
Pertimbangkan rujukan untuk pasien, keluarga dan orang yang pentingbagi pasien pada kelompok pendukung atau sumber-sumber lain, bila memungkinkan.
Aktivitas Lain
Tawarkan tindakan pengurang nyeri untuk membantu pengobatan nyeri (misalnya: umpan balik biologis, tekhnik relaksasi, dan masase punggung).
Bantu pasien dalam mengidentifikasi tingkat nyeri yang beralasan dan dapat diterima.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC):
Tingkat istirahat/tidur yang adekuat untuk memfasilitasi pengurangan nyeri.
Berikan pengobatan sebelum aktivitas untuk meningkatkan partisipasi, tetapi evaluasi bahaya sedasi.

Diagnosa 2: Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka post operasi ablasio retina.
Devinisi : Suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik.
Tujuan/Kreteria Evaluasi :
Terbebas dari tanda atau gejala infeksi.
Menunjukkan higiene pribadi yang adekuat.
Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan, genitourinaria, dan imun dalam batas normal.
Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi.
Melaporkan tanda atau gejala infeksi serta mengikutim prosedur penafasan dan pemantauan.
Hasil yang Disarankan NOC
Staatus Imun : keadekuatan alami yang didapat dan secara tepat ditujukan untuk menahan antigen-antigen internal maupun eksternal.
Pengetahuan   : Pengendalian Infeksi : Tingkat pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pengendalian Resiko : Tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman kesehatan aktual, pribadi, serta dapat dimodifikasi.
Deteksi Resiko : Tindakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan seseorang.
Intervensi Prioritan NIC :
Pemberian Imunisasi/Vaksinasi  : Pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit menular.
Pengendalian Infeksi       :   meminimalkan penularan agens infeksius.
Perlindungan Terhadap Infeksi      :   mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien      yang beresiko.
Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian
Pantau tanda/gejala infeksi (misalnya: suhu tubuh, denyut jantung, pembuangan, penampilan luka, sekresi, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan malaise).
Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi (misalnya: usia lanjut, tanggap imun rendah, dan malnutrisi).
Pantau hasil laboratorium (DPL, hitung granulosit absolut, hasil-hasil yang berbeda, protein serum, dan albumin).
Amati penampilam praktik higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
Pendidikan untuk Pasien/Keluaraga :
Jelaskan kepada pasien/keluarga mengapa sakit dan pengobatan meningkatkan resiko terhadap infeksi.
Intruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
Informasikan kepada orang tua mengenai jadwal imunisasi untuk difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, parotitis, dan rubella.
Jelasakn alasan/keuntungan dan efeksamping imunisasi.
Berikan pasien/keluarga suatu metode untuk mencatat imunisasi (misalnya: format, buku catatan).
Ajarkan metode aman penanganan makanan/penyiapan/penyimpanan.
Pengendalian Infeksi (NIC):
Ajarkan pasien tekhnik mencuci tangan yang benar.
Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien.
Ajarkan kepada pasien dan keluarganya tanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke pusat kesehatan.
Aktivitas Kolaboratif
Rujuk pasien/kelurga ke layanan sosial, kelompok pendukung untuk membantu pengelolaan rumah, higiene, dan nutrisi.
Ikuti petunjuk pelaporan terhadap infeksi yang dicurigai dan atau budaya yang positif.
Rujuk ke lembaga layanan sosial mengenai pembiayaan imunisasi (misalnya: asuransi dan klinik departemen kesehatan).
Pengendalian  Infeksi (NIC): Berikan terapi antibiotik, bila diperlukan.

Diagnosa 3 : Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri berhubungan dengan bed rest total.
Devinisi : Gangguan kemampuan untuk melakukan ADL pada diri.
Batasan karakteristik :
Ketidakmampuan untuk mandi, berpakaian, makan, serta toileting.
Factor yang berhubungan :
Kelemahan, kerusakan kognitif atau conceptual, kerusakan neuromuscular / otot-otot saraf.
Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari bau badan.
Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLS.
Mampu melakukan ADLs dengan bantuan.
Intervensi :
(Self Care Assistane : ADLs)
Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
Dorong untuk melakukan secara mandiri, tetapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
Ajarkan klien/keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

Diagnose 4 : Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Devinisi : suatu keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak mudah atau dread yang disertai dengan respons autonomis, sumbernya seringkali tidak spesifik/tidak diketahui oleh individu; perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Ini merupakan tanda bahaya yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu untuk membuat pengukuran untuk mengatasi ancaman.
Hasil yang Disarankan NOC
Control Ansietas : kemampuan untuk menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir dan tegang dari suatu sumber yang tidak dapat diidentifikasi.
Control Impuls : kemampuan untuk menahan diri dari perilaku kompulsif atau impulsif.
Ketrampilan Interaksi Sosial : penggunaan diri untuk melakukan interaksi yang efektif.

Tujuan/Kriteria Evaluasi
Ansietas berkurang, dibuktikan dengan menunjukkan Kontrol Agresi, Kontrol Ansietas, Koping, Kontrol Impuls, Penahanan Mutilasi Diri secara konsisten, dan secara substansial menunjukkan Ketrampilan Interaksi Soaial yang efektif.
Contoh Lain
Pasien akan :
Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun ada kecemasan.
Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan ketrampilan yang baru.
Mengidentifikasi gejala yang merupakan indicator ansietas pasien sendiri.
Tidak menunjukkan perilaku agresif
Mengomunikasikan kebutuhan dan perasaan negative secara tepat.
Intervensi Prioritas NIC
Pengurangan Ansietas : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi.
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian 
Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien setiap _
Selidiki dengan pasien tentang tekhnik yang telah dimiliki, dan belum dimiliki, untuk mengurangi ansietas di masa lalu.
Pengurangan Ansietas (NIC) : menentukan kemampuan pengambilan keputusan pada pasien.
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga
Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
Instruksikan pasien tentang penggunaan tekhnik relaksasi.
Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur.

Aktivitas Kolaboratif
Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas, sesuai dengan kebutuhan.
Aktivitas Lain
Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi ansietas.
Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan, serta terapi okupasi untuk mengurangi ansietas dan memperluas focus.
Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang tenang, kontak yang terbatas dengan orang lain jika dibutuhkan serta pembatasan penggunaan kafein dan stimulant lain.
Pengurangan ansietas (NIC) :
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
Pernyataan yang jelas tentang harapan dari perilaku pasien.
Damping pasien (misalnya, selama prosedur) untuk meningkatkan keamanan dan pengurangan takut.
Berikan pijatan punggung/pijatan leher, sesuai kebutuhan.
Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan ansietas.
Beri dorongan kepada orang tua untuk menemani anak, sesuai dengan kebutuhan.

Diagnosa 5 : Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
Tujuan :
Pasien dapat mencapai kembali citra diri yang optimal.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu mengekspresikan tentang perubahan dan perkembangan kearah penerimaan.
Pasien mampu menunjukkan rerspon yang adaptif terhadap perubahan citra diri.
Intervensi Keperawatan :
Sediakan waktu bagi pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
Tingkatkan hubungan dan dorongan dari orang terdekat.
Bantu pasien dalam diskusi dan penerimaan perubahan ketajaman penglihatan.
Dorong kemandirian yang ditoleransi.

Diagnosa 6 : Potensial terjadi kecelakaan berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.
Devinisi : Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu.
Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari cedera
Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera.
Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal.
Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury.
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
Mampu mengenali perubahan status kesehatan.
Intervensi :
(Environment Management / Manajemen Lingkungan)
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien.
Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya: memindahkan perabotan).
Memasang side-rail tempat tidur.
Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih.
Menempatkan saklar lampu di tempat yang mudah dijangkau oleh pasien.
Membatasi pengunjung.
Memberikan penerangan yang cukup.
Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
Mengontrol lingkungan dari kebisingan.
Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan.
Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

























BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Ablasio Retina adalah pelepasan retina dari lapisan epitelium neurosensoris retina dan lapisan epitelia pigmen retina (Donna D. Ignativicius, 1991) Ablatio Retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah posterior mata yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga mengakibatkan kebocoran cairan, sehingga antara koroid dan retina kekurangan cairan (Barbara L. Christensen 1991).
Kejadian ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih tua.
Gejala pertama penderita ini melihat kilatan - kilatan bintik hitam mengapung dan cahaya. Pada beberapa penderita lepasnya retina mungkin terjadi tanpa didahului oleh terlihatnya bintik bintik hitam (floaters) ataupun kilatan cahaya yang nyata.

4.2     Saran
Penulis mengetahui bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna sehingga penulis mengharapkan saran atau kritik yang membangun dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kata sempurna. Opini dari para pembaca sangat berarti bagi kami guna evaluasi untuk menyempurnakan makalah ini.












Daftar Pustaka

Bare, B.G & Smeltzer, S.C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jarkarta: EGC.
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Indriana N. Istiqomah. 2005. Asuhan keperawatan klien gangguan mata. Jakarta: EGC

Makalah Transplantasi Organ

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Teknologi masa kini terus menuju perubahan yang sangat signifikan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Dalam dunia kedokteran timur maupun barat, pada umumnya diyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya. Ada penyakit yang dapat diobati dengan hanya pemberian obat yang sederhana, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan yang relatif rumit, seperti transplantasi organ, hal ini merupakan suatu prosuder tindakan kesehatan yang sangat membutuhkan ketelitian dan kecermatan mendalam.
Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan sangat pesat. Secara faktual, hal ini sangat membantu pihak-pihak yang menderita sakit untuk bisa sembuh kembali dengan penggantian organ yang sakit dengan organ yang sehat.
Namun dalam pelaksanaanya banyak kendala-kendala yang dihadapi. Transplantasi organ akan memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi bila dilakukan atas dasar kemanusiaan bukan kepentingan komersial semata. Namun dengan adanya ketimpangan yang cukup besar antara ketersediaan dengan kebutuhan organ, masalah komersialisasi organ menjadi salah satu perdebatan yang sensitive dalam dunia medis maupun agama. Dibalik kesuksesan dalam perkembangan transplantasi organ itu sendiri muncul berbagai masalah baru. Semakin meningkatnya pasien yang membutuhkan tranplantasi, penolakan organ, komplikasi pasca transplantasi, dan resiko yang mungkin timbul akibat transplantasi telah memunculkan berbagai pertanyaan tentang etika, legalitas dan kebijakan yang menyangkut penggunaan teknologi itu.
Transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan organ donor yang ada. Sebagai contoh di China, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah hingga 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi, Tidak hanya hati namun jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat sangat drastis.
Transplantasi organ yang lazim dikerjakan di Indonesia adalah memindahkan suatu organ atau jaringan antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam adalah “Transplantasi Organ dan Jaringan”

1.3 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk mengetahuan pengetahuan mahasiswa tentang Transplantasi Organ dan Jaringan
2.      Tujuan Khusus
Menjelaskan tentang Sejarah Transplantasi Organ
Menjelaskan  tentang pengertian Transplantasi Organ dan Jaringan
Menjelaskan  tentang jenis-jenis Transplantasi Organ dan Jaringan
Menjelaskan  tentang Tujuan Transplantasi
Menjelaskan  tentang Dasar Hukum Transplantasi organ dan jaringan
Menjelaskan Tinjauan Hukum Islam Transplantasi Organ
Menjelaskan masalah etik dan moral transplantasi organ
\




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH TRANSPLANTASI ORGAN
Tahun 600 SM di India, Susruta telah melakuakan transpalantasi kulit. Semantara jaman Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. Diduga John Hunter ( 1728 – 1793 ) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat criteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan trnsplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan. Pada abad ke – 20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah system ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi. Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi modern makin berkembeng dengan ditemukannya metode – metode pencangkokan, seperti :
Pencangkokkan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner olah Dr. George E. Green.
Pencangkokkan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.
Pencakokkan sel – sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh Dr. Andreas Bjornklund.
Yang memberikan ilham masalah transplantasi dalam Ilmu Kedokteran adalah:
Terciptanya Hawa dari tulang iga yang diambil dari tulang iga milik Adam.
Legenda taentang Icarus yang berhasil membuat sayap dari bulu burung garuda lalu ditempelkan di badannya. Kira-kira 2000 tahun sebelum Kristus, di Mesir ditemukan sebuah manuskrip yang isinya antara lain uraian mengenai percobaan-percobaan transplantasi jaringan. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum Kristus, seorang ali bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit jaringan lemak di bawahnya yang berasal dari lengannya. Pengalaman ini merangsang George Tagliacosi, ahli bedah bangsa Italia, pada tahun 1597 mencoba memperbaiki cacat pada hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.
Pada tahun 1863, Paul Bert, ahli fisiologi bangsa Perancis berpendapat transplantasi jaringan antar individu yang sejenis akan mengalami kegagalan, tetapi dia tidak dapat menjelaskan sebabnya. Kemudian pada tahun 1903, C.O. Jensen, seorang ahli biologi dan tahun 1912, G. Schone, seorang ahli bedah; kedua-duanya bangsa Jerman; menjelaskan mekanisme penolakan jaringan oleh resipien, yaitu karena terjadi proses imunitas dalam tubuh resipien. John Murphy, ahli bedah bangsa Amerika, pada tahun 1897 telah berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan. Prestasinya ini membawa perkembangan lebih pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi dan menjadi tonggak diadakannya transplantasi organ.
Pada tahun 1902 E.Ullman, ahli bedah bangsa Jerman, dan setahun kemudian Claude Beck, ahli bedah bangsa Amerika, telah berhasil melakukan transplantasi ginjal pada seekor anjing.Pada awal abad ke XX timbul pemikiran mengadakan transplantasi jaringan atau organ pada dua individu kembar yang berasal dari satu sel telur. Karena individu kembar yang berasal dari satu sel telur secara biologis dapat dianggap satu individu. Berdasarkan kenyataan ini mendorong Dr. J.E. Murray pada tahun 1954 untuk mengobati seorang anak yang menderita penyakit ginjal dengan mentransplantasikan ginjal yang berasal dari sudara kembarnya.

DEFINISI TRANSPLANTASI ORGAN
Kesehatan (1993:327) berarti : Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari bahasa inggris “transplantation” berarti : penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun transplantasi berarti : mentransfer organ atau jaringan dari satu bagian ke bagian lain, yang diambil dari badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain.
Transplantasi adalah pemindahan sebagian atau seluruh jaringan dan organ tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transplantasi Organ merupakan rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik  hal ini dikemukakan dalam pasal 1 butir 5 UUK.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, transplantasi adalah tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Donor merupakan orang yang menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk tujuan kesehatan. Donor organ dapat merupakan organ hidup ataupun telah meninggal. Sedangkan resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari orang lain atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Donor terdiri atas dua macam: living donor dan cadaver donor. Living donor terdiri dari orang-orang yang masih hidup dan sewaktu-waktu bersedia untuk diambil salah satu organnya, sedangkan cadaver donor organ diambil dari donor pada waktu menjelang kematian atau pada waktu tepat sesudah kematian.
JENIS- JENIS TRANSPLANTASI ORGAN
Berdasarkan hubungan genetik antara donor dengan resipien, maka transplantasi dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Autotransplantasi
Yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya satu individu. Seperti seseorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambil daging dari bagian tubuhnya yang lain.
Homotransplantasi (Allotransplantasi)
Yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya. Homotransplantasi dapat terjadi pada dua individu yang masih hidup; bisa juga antara donor yang sudah meninggal yang disebut cadaver donor sedang resipien masih hidup.
Heterotransplantasi (Xenotransplantasi)
Yaitu transplantasi yang donor dan resipien nya adalah dua individu yang berbeda jenisnya.Misalnya mentransplantasikan jaringan atau organ dari binatang ke manusia.
Indikasi utama transplantasi organ adalah ikhtiar pengobatan organ itu (yang menderita penyakit sehingga merusak fungsinya) setelah semua ikhtiar pengobatan lainnya dilakukan tetapi mengalami kegagalan.
Melihat tingkatannya, tujuan transplantasi untuk pengobatan mempunyai kedudukan yang berlainan; ada yang semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang kalau tidak dilakukan dengan pencangkokan tidak akan menimbulkan kematian, tetapi akan menimbulkan cacat atau ketidak sempurnaan badan, seperti pencangokan menambal bibir sumbing, pencangkokan kornea untuk mengobati orang yang korneanya rusak atau tidak dapat melihat. Kalau tidak dilakukan pencangkokan, orang yang sumbing tetap sehat seluruh jasmaninya, hanya mukanya tidak sebagaimana biasa.
Mengenai pencangkokan kornea, jika tidak dilakukan tidak akan mengalami kematian tetapi mengakibatkan kebutaan yang akan mengurangi kegiatan dibanding orang yang lengkap seluruh anggota badannya. Pada pencangkokan yang termasuk pengobatan yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan kematian, adalah seperti pencangkokan penggantian ginjal, hati, jantung, dan sebagainya. Kalau tidak dilakukan pencangkokan akan mengakibatkan kematian pasien. Melihat tingkatan itu, dapat diperinci, pada pencangkokan tingkat pertama adalah tingkat dihajadkan, sedang tingkat kedua tingkat darurat.
Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu :
Eksplantasi, yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal.
Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain.
Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan transplantasi, yaitu:
Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan jaringan / organ.
Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan / organ tubuh baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan / organ tersebut, untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.

TUJUAN TRANSPLANTASI
Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat berfungsi lagi. Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xeno-transplantasi). Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat menanggung beban karena fungsinya yang sudah hilang oleh suatu penyakit.
Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992). Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupaka anugerah Tuhan Yang Maha Esa sehingga dilarang untuk dijadikan obyek untuk mencari keuntungan atau komersial.Transplantasi pada dasarnya bertujuan untuk:
Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, kerusakan jantung, hati dan ginjal
Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis contohnya bibir sumbing
    Ditinjau dari segi tingkatan tujuannya, ada tingkat dihajatkan dan tingkat darurat.
a. Tingkat dihajatkan merupakan transplantasi pengobatan dari sakit atau cacat, apabila tidak dilakukan dengan pencangkokan tidak akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi cornea mata dan bibir sumbing.
b. Tingkat darurat merupakan transplantasi sebagai jalan terakhir, apabila tidak dilakukan akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi ginjal, hati dan jantung.

2.5 ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN
Pengaturan mengenai transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia telah diatur dalam hukum positif di Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur tentang siapa yang berwenang melakukan tindakan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan medis transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, juga tentang sanksi pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bagi pelaku pelanggaran baik yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia tanpa persetujuan donor atau ahli waris, memperjual belikan organ dan atau jaringan tubuh manusia diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh ) tahun dan denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta) sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1)a, Pasal 81 ayat (2)a, Pasal 80 ayat (3), dan sanksi administratif terhadap pelaku pelanggaran yang melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) PP No. 81 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Minis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
Untuk menanggulangi perdagangan gelap organ dan/atau jaringan tubuh manusia diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang berisi ketentuan mengenai jenis perbuatan dan sanksi pidana bagi pelaku yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 17, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000, (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000, (enam ratus juta rupiah). Sedangkan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang juga rentan terhadap tindakan eksploitasi perdagangan gelap transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh telah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 85 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta yang berisi ketentuan mengenai jenis tindak pidana dan sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelakunya. Dalam melakukan tindakan medis transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia seorang dokter harus melakukannya berdasarkan standart profesi serta berpegang teguh pads Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Pada saat ini peraturan perundang – undangan yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981, tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Pokok – poko peraturan tersebut, adalah
Pasal 10
Transplantasi alat unutk jaringna tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan – ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 Huruf a dan Huruf b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan / keluarganya yang trdekat setelah penderita meninggal dunia.
Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga terdekat.
Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersngkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat – akibat dan kemungkinan – kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transaplantasi.
Pasal 17
Dilarang memperjual – belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk  keadaan dari luar negri.

2.6 TINJAUAN HUKUM ISLAM TRANSPLANTASI ORGAN
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.
Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.

Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :
Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.

Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.

Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.[13] Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَ
وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)

Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf. Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan, jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ

Selanjutnya, bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam hal ini haram hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah haram”.

2.7 MASALAH ETIK dan MORAL dalam TRANSPLANTASI ORGAN
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah (a) donor hidup, (b) jenazah dan donor mati, (c) keluarga dan ahli waris, (d) resepien, (e) dokter dan pelaksana lain, dan (f) masyarakat. Hubungan pihak – pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplantasi akan dibicarakan dalam uraian dibawah ini.
Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh – sungguh untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan
Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan – pertimbangan kepentingan pribadi.

Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada prinsipnya transplantasi organ merupakan suatu tindakan mulia, dimana seorang donor memberikan sebagian tubuh atau organ tubuhnya untuk menolong pasien yang mengalami kegagalan fungsi organ tertentu. Transplantasi organ dari donor hidup pada prinsipnya hanya boleh dilakukan jika ada informed consent dari pendonor, dengan memperhatikan resiko donor, efektifitas pendonoran organ, kemungkinan keberhasilan pada penerima dan tidak adanya unsur jual beli atau komersialisasi di dalamnya.
Transplantasi dari pendonor dimungkinkan dilakukan di Indonesia dengan dasar prinsip Izin, artinya pengambilan organ dari tubuh jenazah hanya boleh dilakukan jika donor dan keluarganya memberikan persetujuan sebelumnya, setelah mendapatkan informasi yang cukup. Pemanfaatan organ semacam ini hanya bisa dilakukan jika korban sudah dinyatakan mengalami mati batang otak, dan kesegaran organnya dijaga dengan mempertahankan sirkulasi dan pernapasannya pasca meninggal dengan bantuan alat pemopang kehidupan. Sulitnya prosedur ini menyebabkan semua donor organ dari Indonesia adalah donor hidup
Meskipun secara legal Indonesia bersama negara lain menentang organ trafficking (penjualan organ manusia), komersialisasi transplantasi (pengobatan organ sebagai komoditas) dan transplant tourisme (turisme dalam rangka penyediaan organ untuk pasien dari negara lain), tetapi yang memiliki sanksi pidana hanyalah tindakan transplantasi organ yang dilakukan secara komersial.

3.2 Saran 
   Makalah ini dibuat untuk memenuhi sesuai tujuan awal. Semoga penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang  Transplantasi organ.


DAFTAR PUSTAKA
file:///H:/Kelmpok%202%20Transplnts%20Org/Transplantasi%20Organ.htm
file:///H:/Kelmpok%202%20Transplnts%20Org/transplantasi-organ.html
Al Quranul Karim dn terjemahannya, Mujamma’ Khadim Haramain asy-Syarifain al-Mail Fahd li thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Madina Munawwara, PO Box 3561

-    Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)

-    Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991)

http://hargablogmurah.blogspot.com/2010/04/transplantasi-organ.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Transplantasi_organ
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ-2/

Makalah Ablasio Retina

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan merupakan milik yang sangat berharga bagi seseorang, tanpa kesehatan berarti segala aktivitas seseorang terhambat, oleh karena kondisi tubuh terganggu. Menyadari hal ini maka setiap orang dituntut untuk dapat memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga tidak akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit yang pada akhirnya dapat mengganggu aktivitas kita sehari-hari, dan dapat mempengaruhi sosial seseorang dalam hidupnya.
Manusia di dunia ini dianugrahi oleh tuhan yang disebut dengan panca indera,seperti contohnya; indra penciuman (hidung), indra pendengaran (telinga), indra penglihatan (mata), dan salah satunya disini yang akan dibahas ialah mengenai gangguan yang terjadi pada indera penglihatan (mata), salah satu gangguan mata yang terjadi ialah Ablasio Retina.
Ablasio retina merupakan penyakit mata gawat darurat, penderita mengeluh ada kabut dilapangan pandangnya secara mendadak seperti selubung  hitam. Kalau mengenai makula lutea maka visusnya mundur sekali, bila ditanya mungkin ditemukan gejala ada bintik hitam sebelumnya dan penderita miopia tinggi.selain diatas. Ablasia retina juga disebut sebagai suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang didalam retina. (P.N Oka, 1993). lepasnya lapisan saraf retina dari epitelium.  Penyakit ini  harus dioperasi, penderita tidak boleh terlalu banyak  bergerak  dan goyang supaya bagian retina yang sudah lepas, tidak bertambah lepas lagi.
Maka dengan dijelaskannya tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ablasio retina merupakan suatu penyakit pada mata yang dapat menyebabkan si penderita sangat tertekan dengan keadaannya tersebut sehingga kita sebagai seorang tenaga medis harus mengetahui kiat-kiat bagaimana cara untuk penatalaksanaanm medis pada gangguan ablasia retina ini.


Rumusan Masalah
Apa pengertian dari ablasio retina?
Apa saja etiologi dari ablasio retina?
Apa saja manifestasi klinis dari ablasio retina?
Bagaimana patofisiologi  dari ablasio retina?
Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari ablasio retina?
Bagaimana penatalaksanaan medis dari ablasio retina?
Bagaimana prognosis dari penyakit ablasio retina?
Apa saja dampak masalah dari ablasio retina?
Apa saja komplikasi dari ablasio retina?
Bagaimana asuhan keperawatan dari ablasio retina?

Tujuan
Umum
Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan ablasio retina.
Khusus
Mengetahui pengertian dari ablasio retina
Mengetahui etiologi dari ablasio retina
Mengetahui manifestasi klinis dari ablasio retina
Mengetahui patofisiologi dari ablasio retina
Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari ablasio retina
Mengetahui penatalaksanaan dari ablasio retina
Mengetahui prognosis dari penyakit ablasio retina
Mengetahui dampak masalah yang muncul akibat dari ablasio retina
Mengetahui komplikasi dari ablasio retina
Mengetahui proses asuhan keperawatan ablasio retina

Batasan Masalah
Makalah kami membahas tentang Benda Asing dan Asuhan Keperawatannya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN TEORI
Pengertian

Ablasio berasal dari bahasa latin ablatio yang berarti pembuangan atau terlepasnya salah satu bagian badan. Menurut Vera H. Darling dan Margaret R. Thorpe (1996) menjelaskan bahwa ablasio retina lebih tepat disebut dengan separasi retina. Disebutkan demikian karena terdapat robekan retina sehingga terjadi pengumpulan cairan retina antara lapisan basilus (sel batang) dan komus (sel kerucut) dengan sel-sel epitelium pigmen retina. Keadaan ini dapat terjadi karena lapisan luar retina (sel epitel pigmen) dan lapisan dalam (pars optika) terletak dalam posisi tanpa membentuk perlekatan kecuali di sekitar diskus optikus dan pada tepinya yang bergelombang yang disebut ora serata. Penyakit ini  harus dioperasi, penderita tidak boleh terlalu banyak  bergerak  dan goyang supaya bagian retina yang sudah lepas, tidak bertambah lepas lagi.
Ada 2 tipe ablasio retina, yaitu :
Non rhemathogen retina detachmen :
a. Malignancy hypertensi
b. Choriodal tumor
c. Chorioditis
d. Retinopati

Rhemathogen retina detachmen :
a. Trauma
b.Degenerasi
c. Kelainan vitreus

Etiologi
Ablasio retina dapat terjadi secara spontan  atau sekunder setelah trauma, akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan mendorong retina (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksudat dibawah retina sehingga retina terangkat (non rhegmatogen), atau tarikan jaringan parut pada badan kaca (traksi).  Penimbunan eksudat terjadi akibat penyakit koroid, misalnya skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia gravidarum.  Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan DM,  proliferatif, trauma, infeksi atau pasca bedah.

Manifestasi Klinis
Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya
Pasien seperti melihat pijaran api, penglihatan menurun secara bertahap sesuai dengan daerah yang terkena.
Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/rumah laba-laba
Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang pandang ketika retina benar-benar terlepas dari epitel berpigmen
Penurunan tajam pandangan sentral atau hilangnya pandangan sentral menunjjukkan bahwa adanya keterlibatan macula.

Patofisiologi
Longgarnya perlekatan antara epitel pigmen dan retina menyebabkan keduanya bisa terlepas satu terhadap yang lain, sehingga cairan bisa terkumpul diantaranya. Cairan tersebut biasanya berasal dari bagian badan kaca yang cair yang dengan bebas melewati lubang di retina menuju kedalam rongga yang terbentuk karena terlepasnya epitel pigmen dari retina tersebut.
Penyebab ablasio retina pada orang muda yang matanya tampak sehat dan refraksi lensanya normal adalah karena adanya kelemahan perlekatan bagi retina untuk melekat dengan lapisan dibawahnya. Kelemahan yang biasanya tidak terdiagnosis  letaknya di pinggiran bawah retina. Kadang-kadang di tempat yang sama terdapat kista retina kecil. Jika pinggiran retina terlepas dari perlekatannya maka akan terbentuk suatu lubang seperti yang disebutkan diatas. Pada ablasio retina, bagian luar retina yang sebelumnya mendapat nutrisi dari pembuluh darah koriokapiler tidak lagi mendapat nutrisi yang baik dari koroid. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atropi sel reseptor retina. Pada saat degenerasi retina terjadi kompensasi sel epitel pigmen yang melakukan serbukan sel ke daerah degenerasi. Akibat reaksi kompensasi akan terlihat sel epitel pigmen di depan retina. Selain itu juga akan terjadi penghancuran sel kerucut dan sel batang retina. Bila degenerasi berlangsung lama, maka sel pigmen akan bermigrasi ke dalam cairan sub retina dan ke dalam sel reseptor kerucut dan batang.
Bila pada retina terdapat ruptur besar maka badan kaca akan masuk ke dalam cairan sub retina. Apabila terjadi kontak langsung antara badan kaca dan koroid maka akan terjadi degenerasi koroid. Apabila terjadi degenerasi sel reseptor maka keadaan ini akan berlanjut ke dalam jaringan yang lebih dalam, yang kemudian jaringan ini diganti dengan jaringan glia.
Apabila proses diatas belum terjadi dan ablasio retina ditemukan dini dan kemudian kedudukan retina dikembalikan ke tempat asalnya, maka akan terjadi pengembalian penglihatan yang sempurna


WOC
























 
Pemeriksaan Diagnostik
Pada pemeriksaan Funduskopi terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dan adanya retina yang berwarna merah, sering ditemukan pada daerah temporal superior. Bila bola mata bergerak terlihat robekan retina bergoyang, terdapat defek aferen pupil tekanan bola mata rendah. Bila tekanan bila mata meningkat maka terjadi glaukoma neomuskular pada Ablasi yang lama.

Penatalaksanaan Medis
Pengobatan pada ablasio retina adalah dengan tindakan pembedahan atau operasi. Tujuan operasi adalah untuk mengeluarkan cairan sub retina, menutup lubang atau robekan dan untuk melekatkan kembali retina. Hal ini dikarenakan jarang terjadi pertautan kembali secara spontan. Apabila diagnosis ablasio retina telah ditegakkan maka pasien harus MRS dan dipersiapkan untuk menjalani operasi.
Opersi ablasio retina tersebut antara lain :
Elektrodiatermi
Dengan menggunakan jarum elektroda, melalaui sclera untuk memasukkan cairan subretina dan mengeluarkan suatu bentuk eksudat dari pigmen epithelium yang menempel pada retina.
Sclera Buckling
Suatu bentuk tehnik dengan jalan sclera dipendekkan, lengkungan terjadi dimana kekuatan pigmen epithelium lebih menutup retina, mengatasi pelepasan retina dan menempatkan posisi semula, maka sebuah silikon kecil diletakkan pada sclera dan diperkuat dengan membalut melingkar. Peralatan tersebut dapat mempertahankan agar retina tetap berhubungan dengan koroid dan sclera eksudat dari pigmen epithelium lebih menutup sclera.
Photocoagulasi
Suatu sorotan cahaya dengan laser menyebabkan dilatasi pupil. Dilakukan dengan mengarahkan sinar laser pada epithelium yang mengalami pigmentasi. Epithelium menyerap sinar tersebut dan merubahnya dalam bentuk panas. Metode ini digunakan untuk menutup lubang dan sobekan pada bagian posterior bola mata.

Cyro Surgery
Suatu pemeriksaan super cooled yang dilakukan pada sclera, menyebabkan kerusakan minimal seperti suatu jaringan parut, pigmen epithelium melekat pada retina.
Cerclage
Operasi yang dikerjakan untuk mengurangi tarikan badan kaca. Pada keadaan cairan retina yang cukup banyak dapat dilaksanakan phungsi lewat sclera.
Usaha Pre-Operatif :
Sedikitnya 5 – 7 hari sebelum operasi, penderita sudah harus masuk rumah sakit, harus tirah baring sempurna (Bedrest total).  Kepala dan mata tidak boleh digerakan, mata harus di tutup segera, segala keperluan penderita dibantu. Kedua mata ditetesi midriatik sikloplegik seperti: Atropin tetes 1 % jangan menggunakan obat-obat mata dalam bentuk salep mata karena akan menghalangi jalannya operasi (kornea akan keruh akibat salep).  Persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi katarak, operasi ablasio retina menggunakan anestesi umum tetapi bila menggunakan anestesi lokal maka 1 jam sebelum operasi diberikan luminal (100 mg) atau largactil (100 mg) IM, kemudian ½ jam sesudahnya diberi pethidine (50 mg) dan phenergan (25 mg) IM.
Usaha Post-Operatif :
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam perawatan adalah posisi kepala,  per-gerakan mata, obat-obat, lamanya mobilisasi dan pemeriksaan lanjutan (follow –up). Posisi kepala dan badan, arah miringnya kepala, tergantung posisi/keadaan sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi cairan subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar, posisi kepala dan badan  dipertahankan sedikitnya 12 hari.  Pergerakan mata, bila operasi dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi koagulasi dengan suatu implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 – 72 jam sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila hanya menggunakan cryo atau diathermi saja mata ditutup selama 48 jam samapai cairan subretina diabsobsi. Bila robekan belum semua tertutup, maka kedua mata harus ditutup selama 12 – 14 hari, retina menempel kembali dengan kuat pada akhir minggu ketiga setelah operasi, karena itu selama periode 3 minggu itu diberikan instruksi sebagai berikut :
Jangan membaca.
Melihat televisi hanya boleh dari jarak 3 meter.
Mata diusahakan untuk melihat lurus kedepan, bila berkendaran hendaknya mata di tutup.
Obat-obatan :
Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) 3 X 500 mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah.  Sesudah 24 jam tidak perlu diberikan obat-obat, kecuali bila merasa sakit.  Penggantian balut dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes steril 1 %.  Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai babat tindih (druk verban) dan kompres dingin. 
Follow Up :
Setelah pulang, penderita kontrol tiap 1 minggu, 3 minggu, 6 minggu kemudian tiap 3, 6 dan 12 bulan.  Refraksi stabil setelah 3 bulan pasca bedah.  Visus terlihat kemajuannya setelah 1 tahun pasca bedah.
Prognosis
90 % detachmen retina setelah enam bulan melekat baik tidak akan lepas lagi.

Dampak Masalah
Gangguan penglihatan merupakan masalah utama yang muncul pada pasien dengan ablasio retina. Adanya gangguan ini secara langsung dapat menimbulkan berbagai masalah pada pola hidup pasien sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang holistik. Berbagai masalah yang muncul, antara lain :
Bagi Individu
Pola aktifitas dan pergerakan tubuh
Pasien ablasio retina post operasi harus banyak beristirahat dan mengurangi aktifitas yang dapat memperburuk kondisi kesehatannya.
Pola kognitif dan sensori
Adanya gangguan sensori persepsi visual dapat menimbulkan keluhan kesukaran untuk membaca, melihat, dan lain sebagainya pada diri pasien.
Pola penanggulangan stress
Emosi dan kondisi psikis pasien ablasio retina akan menjadi labil. Pada pasien akan muncul rasa cemas dan kekhawatiran akan kehilangan penglihatannya.
Pola persepsi diri
Kecemasan dapat timbul pada pasien ablasio retina, juga dapat muncul rasa khawatir dan takut akibat penurunan tajam penglihatannya.
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Dengan keadaannya, maka pada pasien ablasio retina dapat timbul perubahan tentang penatalaksanaan kesehatannya sehingga dapat menimbulkan masalah dalam merawat diri sendiri.
Pola hubungan inter personal
Dengan kondisi kesehatannya, maka dapat timbul isolasi sosial pada diri pasien.
Pola tidur dan istirahat
Dengan kondisi psikis yang labil maka pasien dapat mengalami gangguan pola tidur dan istirahat.
Bagi keluarga
Dengan sakitnya salah satu anggota keluarga, maka akan mempengaruhi kondisi psikologis seluruh anggota keluarga.
Biaya pengobatan yang mahal, perilaku pasien yang sulit untuk bekerjasama, kurangnya pengetahuan anggota keluarga yang lain dalam merawat pasien juga merupakan masalah tersendiri bagi keluarga.

Komplikasi
Komplikasi awal setelah pembedahan
Glaukoma
Infeksi
Ablasio koroid
Kegagalan pelekatan retina
Ablasio retina berulang
Komplikasi lanjut
Infeksi
Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata
Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
Diplopia
Kesalahan refraksi
astigmatisme

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas pasien
Meliputi nama, umur untuk mengetahui angka kejadian pada usia keberapa, jenis kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan, pekerjaan untuk mengetahui apakah penderita sering menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak.
Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada penglihatan seperti penglihatan kabur, melihat kilatan–kilatan kecil, adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan, adanya penurunan tajam penglihatan.
Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien yang berhubungan dengan timbulnya ablasio retina yaitu adanya miopi tinggi, retinopati, trauma pada mata.
Riwayat penyakit keluarga
Adakah anggota keluarga lain yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien dan miopi tinggi.
Riwayat psikososial dan spiritual
Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitar sebelum maupun sesudah sakit. Apakah pasien mengalami kecemasan, rasa takut, kegelisahan karena penyakit yang dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Pola-pola fungsi kesehatan
Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai berikut :
Pola persepsi dan tata laksana hidup
Bagaimana persepsi pasien tentang hidup sehat, dan apakah dalam melaksanakan talaksana hidup sehat penderita membutuhkan bantuan orang lain atau tidak.
Pola tidur dan istirahat
Dikaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur dan gangguan selama tidur sebelum pelaksanaan operasi dan setelah palaksanaan operasi. Juga dikaji bagaimana pola tidur dan istirahat selama masuk rumah sakit.
Pola aktifitas dan latihan
Apa saja kegiatan sehari-hari pasien sebelum masuk rumah sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.
Pola hubungan dan peran
Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya. Apakah peranan pasien dalam keluarga dan masyarakat. Juga ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain dirumah sakit,sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.
Pola persepsi dan konsep diri
Bagaimana body image, harga diri, ideal diri, dan identitas diri pasien. Apakah ada perasaan negatif terhadap dirinya. Juga bagaimana pasien menyikapi kondisinya setelah palaksanaan operasi.
Pola sensori dan kognitif
Bagaimana daya penginderaan pasien. Bagaimana cara berpikir dan jalan pikiran pasien.
Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien memecahkan masalah yang dihadapi dan stressor yang paling sering muncul pada pasien.

Pemeriksaan Fisik
Status kesehatan umum
Bagaimana keadaan penyakit dan tanda-tanda vitalnya.
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen, yaitu :
Pemeriksaan segmen anterior :
Adanya pembengkakan pada palpebrae atau tidak, biasanya pada klien post operasi ablasio retina, palpebraenya akan bengkak.
Keadaan lensa, bila tidak ada konplikasi lain, maka keadaan lensanya adalah jernih.
Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang telah masuk rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian atropin.
Kamera Okuli Anteriornya biasanya dalam.
Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi akan mengalami hiperemi pada konjungtivanya.
Pemeriksaan segmen posterior
Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.
Ada atau tidak pupil syaraf optiknya.
Pemeriksaan diagnostik
Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau tidak dan untuk mengetahui sisa penglihatan yang masih ada. Pengujian ini dengan menggunakan kartu snelen yang dibuat sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat optik mata membentuk sudut 500 untuk jarak tertentu. Pada ablasio retina didapatkan penurunan tajam penglihatan.
Fundus kopi, untuk mengetahui bola mata seperti warna retina, keadaan retina, reflek dan gambaran koroid.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina.
Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri berhubungan dengan bed rest total.
Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
Potensial terjadi kecelakaan berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.

Intervensi Keperawatan dan Implementasi
Diagnosa 1 : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
Devinisi : Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang di gambarkan dalam istilah seperti kerusakan (internasional assosiation for the study of pain), awitan yang tiba tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat di ramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.
Tujuan/Kriteria Evaluasi
Pasien akan :
Mengatakan secara verbal pengetahuan tentang cara alternatif untuk mengurangi nyeri.
Tingkat nyeri pasien dipertahankan pada atau kurang (pada skala 0-10).
Malaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
Mengenali faktor-faktor yang meningkatkan dan melakukan tindakan pencegahan nyeri.
Menggunakan alat pengurang nyeri analgesik dan nonanalgesik secara tepat.
Hasil yang Disarankan NOC
Tingkat Kenyamanan : Perasaan senang secara fisik dan psikologis.
Perilaku pengendalian Nyeri : Tindakan seseorang untuk mengendalikan nyeri.
Nyeri : Efek Merusak : Efek merusak dari nyeri terhadap emosi dan perilaku yang diamati atau dilaporkan.
Tingkat Nyeri : jumlah nyeri yang dilaporkan atau ditunjukkan.
Intervensi Prioritas NIC :
Pemberian Analgesik: penggunaan agen-agens farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Penatalaksanaan Nyeri: meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.
Bantuan Analgesia yang Dikendalikan Oleh Pasien: memudahkan pengendalian pasien dalam pemberian dan pengeturan anlgesik.
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
Kaji dan dokumentasikan efek-efek penggunaan pengobatan jangka panjang.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC) :
Pantau kepuasan pasien dengan penatalaksanaan nyeri pada interval yang spesifik.
Tentukan dampak pengalaman nyeri pada kualitas hidup (misalkan : tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja, dan tanggung jawab peran).
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga
Bicarakan pada pasien bahwa pengurangan nyeri secara total tidak akan dapat dicapai.
Aktivitas Kolaboratif
Adakan pertemuan perencanaan asuhan keperawatan pasien secara multidisiplin.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC):
Pertimbangkan rujukan untuk pasien, keluarga dan orang yang pentingbagi pasien pada kelompok pendukung atau sumber-sumber lain, bila memungkinkan.
Aktivitas Lain
Tawarkan tindakan pengurang nyeri untuk membantu pengobatan nyeri (misalnya: umpan balik biologis, tekhnik relaksasi, dan masase punggung).
Bantu pasien dalam mengidentifikasi tingkat nyeri yang beralasan dan dapat diterima.
Penatalaksanaan Nyeri (NIC):
Tingkat istirahat/tidur yang adekuat untuk memfasilitasi pengurangan nyeri.
Berikan pengobatan sebelum aktivitas untuk meningkatkan partisipasi, tetapi evaluasi bahaya sedasi.

Diagnosa 2: Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka post operasi ablasio retina.
Devinisi : Suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik.
Tujuan/Kreteria Evaluasi :
Terbebas dari tanda atau gejala infeksi.
Menunjukkan higiene pribadi yang adekuat.
Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan, genitourinaria, dan imun dalam batas normal.
Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi.
Melaporkan tanda atau gejala infeksi serta mengikutim prosedur penafasan dan pemantauan.
Hasil yang Disarankan NOC
Staatus Imun : keadekuatan alami yang didapat dan secara tepat ditujukan untuk menahan antigen-antigen internal maupun eksternal.
Pengetahuan : Pengendalian Infeksi : Tingkat pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pengendalian Resiko : Tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman kesehatan aktual, pribadi, serta dapat dimodifikasi.
Deteksi Resiko : Tindakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan seseorang.
Intervensi Prioritan NIC :
Pemberian Imunisasi/Vaksinasi : Pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit menular.
Pengendalian Infeksi : meminimalkan penularan agens infeksius.
Perlindungan Terhadap Infeksi : mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang beresiko.
Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian
Pantau tanda/gejala infeksi (misalnya: suhu tubuh, denyut jantung, pembuangan, penampilan luka, sekresi, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan malaise).
Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi (misalnya: usia lanjut, tanggap imun rendah, dan malnutrisi).
Pantau hasil laboratorium (DPL, hitung granulosit absolut, hasil-hasil yang berbeda, protein serum, dan albumin).
Amati penampilam praktik higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
Pendidikan untuk Pasien/Keluaraga :
Jelaskan kepada pasien/keluarga mengapa sakit dan pengobatan meningkatkan resiko terhadap infeksi.
Intruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
Informasikan kepada orang tua mengenai jadwal imunisasi untuk difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, parotitis, dan rubella.
Jelasakn alasan/keuntungan dan efeksamping imunisasi.
Berikan pasien/keluarga suatu metode untuk mencatat imunisasi (misalnya: format, buku catatan).
Ajarkan metode aman penanganan makanan/penyiapan/penyimpanan.
Pengendalian Infeksi (NIC):
Ajarkan pasien tekhnik mencuci tangan yang benar.
Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien.
Ajarkan kepada pasien dan keluarganya tanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke pusat kesehatan.
Aktivitas Kolaboratif
Rujuk pasien/kelurga ke layanan sosial, kelompok pendukung untuk membantu pengelolaan rumah, higiene, dan nutrisi.
Ikuti petunjuk pelaporan terhadap infeksi yang dicurigai dan atau budaya yang positif.
Rujuk ke lembaga layanan sosial mengenai pembiayaan imunisasi (misalnya: asuransi dan klinik departemen kesehatan).
Pengendalian  Infeksi (NIC): Berikan terapi antibiotik, bila diperlukan.

Diagnosa 3 : Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan diri berhubungan dengan bed rest total.
Devinisi : Gangguan kemampuan untuk melakukan ADL pada diri.
Batasan karakteristik :
Ketidakmampuan untuk mandi, berpakaian, makan, serta toileting.
Factor yang berhubungan :
Kelemahan, kerusakan kognitif atau conceptual, kerusakan neuromuscular / otot-otot saraf.
Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari bau badan.
Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLS.
Mampu melakukan ADLs dengan bantuan.
Intervensi :
(Self Care Assistane : ADLs)
Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
Dorong untuk melakukan secara mandiri, tetapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
Ajarkan klien/keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

Diagnose 4 : Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Devinisi : suatu keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak mudah atau dread yang disertai dengan respons autonomis, sumbernya seringkali tidak spesifik/tidak diketahui oleh individu; perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Ini merupakan tanda bahaya yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu untuk membuat pengukuran untuk mengatasi ancaman.
Hasil yang Disarankan NOC
Control Ansietas : kemampuan untuk menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir dan tegang dari suatu sumber yang tidak dapat diidentifikasi.
Control Impuls : kemampuan untuk menahan diri dari perilaku kompulsif atau impulsif.
Ketrampilan Interaksi Sosial : penggunaan diri untuk melakukan interaksi yang efektif.
Tujuan/Kriteria Evaluasi
Ansietas berkurang, dibuktikan dengan menunjukkan Kontrol Agresi, Kontrol Ansietas, Koping, Kontrol Impuls, Penahanan Mutilasi Diri secara konsisten, dan secara substansial menunjukkan Ketrampilan Interaksi Soaial yang efektif.
Contoh Lain
Pasien akan :
Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun ada kecemasan.
Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan ketrampilan yang baru.
Mengidentifikasi gejala yang merupakan indicator ansietas pasien sendiri.
Tidak menunjukkan perilaku agresif
Mengomunikasikan kebutuhan dan perasaan negative secara tepat.
Intervensi Prioritas NIC
Pengurangan Ansietas : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi.
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian 
Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien setiap _
Selidiki dengan pasien tentang tekhnik yang telah dimiliki, dan belum dimiliki, untuk mengurangi ansietas di masa lalu.
Pengurangan Ansietas (NIC) : menentukan kemampuan pengambilan keputusan pada pasien.
Pendidikan untuk Pasien/Keluarga
Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
Instruksikan pasien tentang penggunaan tekhnik relaksasi.
Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur.
Aktivitas Kolaboratif
Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas, sesuai dengan kebutuhan.
Aktivitas Lain
Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi ansietas.
Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan, serta terapi okupasi untuk mengurangi ansietas dan memperluas focus.
Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang tenang, kontak yang terbatas dengan orang lain jika dibutuhkan serta pembatasan penggunaan kafein dan stimulant lain.
Pengurangan ansietas (NIC) :
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
Pernyataan yang jelas tentang harapan dari perilaku pasien.
Damping pasien (misalnya, selama prosedur) untuk meningkatkan keamanan dan pengurangan takut.
Berikan pijatan punggung/pijatan leher, sesuai kebutuhan.
Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan ansietas.
Beri dorongan kepada orang tua untuk menemani anak, sesuai dengan kebutuhan.

Diagnosa 5 : Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
Tujuan :
Pasien dapat mencapai kembali citra diri yang optimal.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu mengekspresikan tentang perubahan dan perkembangan kearah penerimaan.
Pasien mampu menunjukkan rerspon yang adaptif terhadap perubahan citra diri.

Intervensi Keperawatan :
Sediakan waktu bagi pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
Tingkatkan hubungan dan dorongan dari orang terdekat.
Bantu pasien dalam diskusi dan penerimaan perubahan ketajaman penglihatan.
Dorong kemandirian yang ditoleransi.

Diagnosa 6 : Potensial terjadi kecelakaan berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.
Devinisi : Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu.
Kriteria Hasil :
Klien terbebas dari cedera
Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera.
Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal.
Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury.
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
Mampu mengenali perubahan status kesehatan.
Intervensi :
(Environment Management / Manajemen Lingkungan)
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien.
Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya: memindahkan perabotan).
Memasang side-rail tempat tidur.
Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih.
Menempatkan saklar lampu di tempat yang mudah dijangkau oleh pasien.
Membatasi pengunjung.
Memberikan penerangan yang cukup.
Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
Mengontrol lingkungan dari kebisingan.
Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan.
Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ablasio retina adalah suatu robekan retina yang dapat mengakibatkan pengumpulan cairan retina antara lapisan basilus (sel batang) dan komus (sel kerucut) dengan sel-sel epitelium pigmen retina. Ablasio retina dapat terjadi karena lapisan luar retina (sel epitel pigmen) dan lapisan dalam (pars optika) terletak dalam posisi tanpa membentuk perlekatan kecuali di sekitar diskus optikus dan pada tepinya yang bergelombang yang disebut ora serata. Penyakit ini dapat terjadi secara spontan  atau sekunder setelah trauma. Biasanya pasien merasakan seperti melihat pijaran api, penglihatan menurun secara bertahap sesuai dengan daerah yang terkena. Pengobatan pada ablasio retina adalah dengan tindakan pembedahan atau operasi.

Saran 
Apabila diagnosis ablasio retina telah ditegakkan maka pasien harus MRS dan dipersiapkan untuk menjalani operasi.





DAFTAR PUSTAKA

Wilkinson, Judith M. 2011. Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. ECG : Jakarta
Junaidi, Purnawan. 1989. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.
Smeltzer, Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC : Jakarta
http://sailormanyahya.wordpress.com/2010/12/04/asuhan-keperawatan-ablasio-retina